[6] Home Law, School Law, Life Law

202 50 8
                                    


Jake menaruh sepatu sekolahnya di rak ke dua dan menggantinya dengan sendal rumah. Sudah semacam aturan di rumahnya, bagi siapapun yang masuk—penghuni  tetap ataupun tamu—harus mengganti sepatu mereka dengan sendal rumah yang sudah disiapkan di rak sendal ketika melewati pintu kedua rumahnya. Sebenarnya ini hanyalah sebuah kebiasaan yang lama – lama seperti berubah menjadi aturan, toh gak ada hukuman apapun atas tindakan pelanggaran dan sebagainya.

Sembari menenteng tas ranselnya di tangan kanan, Jake memasuki rumah bergaya Kontemporernya dengan santai. jelas gak menyadari kalau jam di dinding sudah menunjukan pukul empat lewat lima belas—sampai sebuah suara halus menegurnya dari arah dapur ketika Jake sedang mengecek surat kiriman hari ini yang ditaruh di kotak surat dalam rumah.

"Baru pulang?"

Jake menoleh dan mendapati Mamanya berdiri di ujung lorong menuju dapur lengkap dengan apron bunga – bunganya serta rambut yang digulung rapi. Jake kembali memalingkan wajahnya ke arah amplop – amplop di tangannya seraya mengangguk – angguk.

"ada apa? Ini udah hampir setengah lima," tanya Mamanya lagi yang kembali sukses membuat Jake menoleh dengan alis terangkat. Disana Mamanya melempar pandangan bertanya sebelum kembali bersuara, "kenapa? Minggu ini kamu belum ada bimbel apa apa, kamu bimbel mulai Selasa minggu depan—and, you didn't text me anything, am i wrong?"

Jake menghela napas dan meletakkan amplop – amplop yang ia pegang kembali ke kotaknya. "pengurus kelas harus nunggu sampe petugas piket selesai baru pulang,"

"well, that's gonna ruin your routine, isn't it?" tanya Mamanya lagi. Tapi Jake memutuskan untuk berjalan melewati ruang keluarga untuk segera menuju tangga. "Jake Mama belum selesai. What did i said about look at me when i talk to you?"

Jake yang sudah hampir sampai di tangga mendengus dan berjalan sedikit untuk kembali menatap Mamanya.

"Kamu akan mulai bimbel minggu depan. Mama udah kasih jadwal pulang sekolah kamu ke mereka dan kamu harus langsung ke sana setelah pulang, no excuses." Ucap Mamanya dengan tegas.

"Ma, aku baru bilang kan aku punya tugas baru? I can't just leave like that, can i?" balas Jake. Sebenarnya Jake juga tau bahwa jabatannya sebagai wakil ketua kelas itu gak penting sama sekali, tapi nyatanya dia hanya mencari sebuah alasan agar bisa keluar dari rutinitas yang dibentuk orangtuanya.

"Kamu pikir jadi wakil ketua kelas is more important than your grade, Jake? Untuk apa Mama daftarin kamu ke segudang bimbel kalo ujung – ujungnya kamu lebih milih tugas sebagai wakil ketua kelas sepulang sekolah ketimbang hadir di sana? Kamu pikir bimbel – bimbel itu murah? Kamu pikir orang tuamu daftarin kamu di sana hanya karena mereka mau anaknya jadi pinter? Jake you need to achieve something in your life and that something bukan sekedar wakil ketua kelas!" jelas Mamanya yang sekarang nampak menahan amarahnya. "First, you didn't talk to me about that, right? So whose fault is this?"

Lagi. Sebuah kebiasaan yang berubah menjadi aturan. Menjadi hukum mutlak yang bahkan gak tertulis dalam kertas manapun. Hukum yang berubah sebagai tekanan dan memaksa.

"Ma, i'm almost eighteen, can't i just do whatever teenagers do for fun—"

"yeah, you wanna do drugs then?" potong Mamanya dengan sarkas. "Jake, having fun doesn't make your parents proud, okay? Do you understand that?"

"Yeah, but—"

"no, honestly, i don't think you do." Mamanya melipat kedua tangannya di depan dada. Jake tau pembicaraan ini kelewat serius ketika Mamanya berhenti menggunakan Bahasa Indonesia, dan Jake yakin kalau dia gak menuruti perkataan Mamanya semua akan jauh lebih panjang.

"Jadi?" Tanya Jake akhirnya.

"You go there right after school ends, no buts, no excuses, i'll talk to your homeroom teacher about this so don't bother talk back to me or you're grounded." Jawab Mamanya dengan tatapan yang lurus menuju ke arah anak sulungnya itu. Jake sendiri hanya bisa menghela napas dan mengangguk pelan.

"Ya," gumam Jake sebelum berbalik dan hendak berjalan menuju tangga.

"ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri itu gak main – main, Jake. Kamu inget kan Januari nanti kamu harus ujian masuk AS and A Level Cambridge? You need to pass, setelah dapet sertifikat diploma disana baru Mama dan Papa akan kasih kebebasan kamu mau ambil universitas luar atau dalam negeri. Studying business isn't as easy as you think, kamu harus tetap fokus." Suara Mamanya terdengar agak samar ketika Jake sampai di ujung tangga, terhalang dinding dan dinding.

Bukankah ini sebuah kebiasaan juga? kebiasaan orang tua yang mendidik anak – anaknya dengan campur tangan keinginan dan tujuan yang mereka tentukan sendiri. Kebiasaan yang lagi – lagi berubah menjadi sebuah aturan. Dan bayangkan betapa menyesakkannya ketika gak ada tempat yang memperbolehkan Jake untuk sekali mengekspresikan dirinya secara bebas, gak ada satu orang pun yang bertanya apa yang ia inginkan untuk hidupnya dan jalur apa yang ingin ia ambil. Semua sudah ditentukan, sudah pada tempatnya, begitu pula mimpinya yang dipaksa untuk tetap hadir hanya sebagai sebuah mimpi. Karena gak ada tempat untuk cita – cita dan mimpi dalam aturan yang diciptakan orangtuanya, All he needs to do is obey, and say yes.

Jake melempar badannya ke atas kasur setelah meletakkan tasnya dengan asal. Langit – langit kamarnya yang penuh dengan sticker bintang glow in the dark juga poster Drake memenuhi pandangannya. Bukankah aneh memajang poster idola di langit – langit kamar ketimbang di dinding? Bukankah seharusnya Mamanya bertanya kenapa ada poster seorang rapper asal Amerika di langit – langit kamar Jake ketika wanita paruh baya itu masuk ke kamarnya membawa segelas susu setiap malam? Bukankah seharusnya Mamanya paham bahwa menempel poster idolanya di langit – langit kamar akan membantu Jake mengingat mimpinya setiap hari?

Jake tersenyum pahit. Dia ingat betapa menyenangkannya tampil di atas panggung ketika sekolah dasar, memegang mic untuk bernyanyi bersama teman – teman sekelasnya walau ia gak menemukan orang tuanya di deretan bangku penonton. Dan Sekolah Menengah Pertama menyadarkan Jake bahwa mimpi adalah orang asing yang gak akan bisa masuk ke dalam rumahnya bahkan ketika ia mengetuk dengan sopan. Tapi menempel poster Drake di langit – langit kamarnya mengingatkan Jake bahwa mimpinya masih hidup, dan akan tetap hidup.

••

so, beda sama Sunghoon, Jake does have a dream but doesn't have a chance to actually do what he always wanted or even talk about it. Jake cuma bisa nurut, karena basically dia selalu nurut dari kecil dan bukan tipe rebellious. tapi ya, who knows kalo lama - lama Jake pun bisa capek? ya gak sih? ada yang punya kasus serupa?🙋🏻‍♀️ hehe tell me what you think!

love,
-👑

••

m u l t i e r r y t h i n g

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

m u l t i e r r y t h i n g

Silver Lining | I-LANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang