[7] The Coldest Ice

190 44 10
                                    


Sunghoon menutup lemarinya setelah mengeluarkan Moxi Suede Ice skate putih dari dalam. Pemuda bersweater hitam itu menaruh sepasang sepatu Ice Skate yang ia pegang ke dalam fitness bagnya. Setelah melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima sore kurang lima menit, Sunghoon meresleting tasnya dan dengan gerakan cepat menyampirkan talinya di bahu sebelah kanan sebelum mematikan lampu kamar dan berjalan keluar.

Lorong lantai tiga nampak sepi, lampu di kamar adik – adiknya juga terlihat mati. Sunghoon tau ke empat anggota keluarga yang lain sudah ada di bawah, antara ruang keluarga dan ruang makan, tapi mengingat jam masih menunjukan pukul lima, kemungkinan besar mereka sedang berada di ruang keluarga.

Dengan langkah agak cepat Sunghoon menuruni tangga dan berpapasan dengan Mamanya yang membawa nampan penuh dengan kue – kue kecil.

"Latihan hari ini?" tanya Mama yang segera diiyakan dengan anggukan kecil Sunghoon. "Mama bikin kue, kamu mau bawa beberapa?"

Sunghoon selalu suka kue buatan Mamanya. Yang ia ingat dulu Mamanya selalu membuatkannya cupcake isi selai blueberry dengan krim keju di atasnya. Tapi itu dulu, dan seingat Sunghoon ulang tahunnya hanyalah hari biasa sejak adik – adiknya lahir.

"Mama buat banyak?" tanya Sunghoon sembari melirik ke nampan yang Mamanya pegang.

"Ini buat adik – adik dan Papa, masih ada di dapur. Mama siapin kalo kamu mau bawa," jawab Mamanya.

"Eve dan Al suka kue buatanmu yang ini, kamu pikir mereka cukup makan lima?" sebuah suara berat menginterupsi konversasi kecil antara Ibu dan Anak di ujung tangga itu, membuat keduanya menoleh dan mendapati laki – laki paruh baya berkemeja biru donker berdiri di ujung lorong menuju ruang keluarga.

"Aku buat banyak—"

"sebanyak apapun kamu buat, Eve dan Al selalu habiskan," Laki – laki itu tersenyum kepada istrinya seraya berjalan mendekat dan mengambil satu cupcake strawberry mini dari nampan yang istrinya pegang dan memakannya. "Eve sudah bawel nanyain kamu dan kuenya, kalau gak disamperin dia ngerengek pasti,"

Sunghoon ingin selalu bisa melangkah dengan ringan ketika ia sadar dirinya hanya dianggap kasat mata dalam pembicaraan – pembicaraan seperti ini, tapi entah kenapa netra Sunghoon selalu terpaku meneliti ekspresi wajah Mamanya, terutama saat ini ketika ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk sebelum menoleh sebentar ke arah Sunghoon.

"Hati – hati dijalan," ucap Mamanya sebelum berlalu melewati suaminya dan berjalan lurus menuju lorong. Hanya itu. Tanpa kembali menawarkan kue atau apapun lagi.

Dan Sunghoon juga hendak berlalu tanpa sepatah kata, tapi sepinya rumah membuat suara pelan Papanya terdengar jelas di telinga.

"menurut gak mau, dan cuma bisa bikin pusing keluarga," ucap Papanya tiba – tiba. Sunghoon yang sudah hampir turun tangga lagi kembali menoleh dan menatap Papanya yang kini sedang berjalan menuju kulkas. Karena sadar diperhatikan, Papanya menoleh dan menatap Sunghoon. "seenggaknya kamu tau diri. Sekolah skating kamu gak murah, kamu pikir Mamamu dapat uang dari mana untuk bayar itu? Dari saya. Lagi pula dapat apa kamu di situ? Ikut kejuaraan internasional juga cuma bisa bawa pulang perunggu. Kamu pikir mamamu bangga?"

Sunghoon paham betul apa yang lebih dingin dari es di tempat latihannya. Awalnya dia pikir mungkin lantai marmer di rumahnya, atau AC yang menyambutnya di setiap lantai dan ruangan, atau juga hujan yang entah kenapa datang lebih sering belakangan. Tapi ada yang menyadarkannya di malam – malam dimana Sunghoon enggan tidur.

Keluarga.

Sunghoon sadar berada di balik pintu kamarnya sembari mendengarkan Mama dan Papa tirinya bertengkar terasa lebih dingin ketimbang jatuh ketika pertama kali mencoba melakukan toe loop di tempat latihan. Dia sadar lantai kamarnya terasa lebih dingin ketika malam tiba dan Sunghoon dipaksa terjaga sampai pagi kalau enggan bertemu dengan mimpi – mimpi buruk.

Silver Lining | I-LANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang