[3] Certainty Is An Opinion

287 59 5
                                    


Sunghoon mencengkram tali tas yang tersampir di bahu kanannya. Mata pemuda itu terkunci pada knop pintu kayu di depannya, memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang akan terulang jika ia masuk ke dalam. Pasalnya, ini bukanlah konseling pertama Sunghoon, and let's just say Sunghoon gak mau ikut konseling apapun dan bersama siapapun lagi. Tapi mau sekeras apapun hatinya menolak untuk masuk, akal Sunghoon memaksa pemuda itu untuk memutar knop pintu dan menemui wali kelasnya di dalam.

"Permisi," Ucap Sunghoon seraya melongokan kepalanya dari balik pintu, mendapati Pak Jamal dan Bu Tian sedang berada dalam sebuah percakapan dengan dua gelas teh di depan mereka.

Melihat Sunghoon yang menyembulkan kepalanya, Pak Jamal dan Bu Tian tersenyum ramah dan menyuruh salah satu siswa kebanggaan sekolah itu untuk masuk.

"Gimana Sunghoon kabarnya?" Tanya Bu Tian seraya menggeser duduknya dari sofa, memberi tempat agar Sunghoon bisa duduk di sebelahnya dan bersebrangan dengan Pak Jamal. Sunghoon sendiri hanya tersenyum kecil dan mengangguk – angguk sopan sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Tian barusan sembari melepas tasnya untuk di taruh di lantai dekat kaki.

"Nah, kalo gitu bisa kita langsung mulai aja?" tanya Bu Tian yang sudah siap dengan buku catatan di atas pangkuannya. Lagi – lagi Sunghoon hanya mengangguk singkat sebagai jawaban, menunggu pertanyaan – pertanyaan klise keluar dari kedua mulut gurunya.

"Latihanmu lancar? Bapak dengar kamu mau dipersiapkan untuk SEA Games 2021?" tanya Pak Jamal selagi Bu Tian mencatat tanggal di bukunya.

"Belum tau, Pak. Saya harus ikut FSNC lagi di bulan Januari akhir, kalo dapet emas saya baru bisa masuk timnas." Jawab Sunghoon yang membuat dua gurunya mengangguk – angguk paham, disertai senyuman bangga mereka.

"Ah, Bapak yakin kamu pasti bisa. Pasti. Jam terbang kamu itu udah lebih dari cukup untuk anak seumuran kamu," ucap Pak Jamal diiringi anggukan Bu Tian.

Pasti. Satu kata yang menurut Sunghoon seharusnya gak diucapkan sembarangan oleh orang yang gak terjun langsung dalam kehidupannya. Tau apa Pak Jamal soal kepastian?

"lalu rencanamu setelah lulus? Kamu mau lanjut dengan jurusan olahraga atau mau coba yang lain?" kali ini gantian Bu Tian yang mengajukan pertanyaan yang sedari tadi sudah Sunghoon tebak.

"itu juga saya belum tau, Bu," jawab Sunghoon seadanya. Mata pemuda itu jatuh ke dalam cangkir di atas meja, pandangannya menerobos ke dalam teh, gak berniat membalas tatapan guru – gurunya atau menjelaskan lebih jelas kenapa ia belum punya jawaban dari pertanyaan yang sudah pasti ditanyakan disetiap konseling.

"Ada apa? Kamu masih bingung mau pilih jurusan? Atau kamu mau fokus terus di figure skating?" tanya Bu Tian lagi. Kali ini Sunghoon bisa merasakan tatapan intens kedua gurunya, menunggu Sunghoon menjawab dengan jawaban pasti.

"Bukan. saya.... cuma gak berniat kuliah," gumam Sunghoon, gak yakin dia harus menyuarakan jawabannya sebesar tekad dalam dadanya.

"Hm?? Kenapa? Mau fokus dengan skating?" Tanya Pak Jamal sembari menyilangkan kaki juga tangannya.

"Nggak juga. Saya memang belum punya rencana apa – apa, mungkin setelah lulus baru dapet ide," jawab Sunghoon setengah ngasal. Jujur, Sunghoon gak punya kemauan untuk melakukan apapun selepas lulus sekolah, tapi dia juga gak punya alasan yang cukup jelas untuk bisa dimengerti para orang tua yang hanya bisa berpikir secara rasional ini.

"Sunghoon, dengar Ibu sebentar," Bu Tian menangkup tangan kiri Sunghoon yang berada di atas lututnya. Bu Tian menatap Sunghoon dengan lamat – lamat sebelum mulai berbicara, "kamu tau kan kamu mesti punya tujuan yang jelas? Kamu gak bisa menyianyiakan kemampuan kamu, penghargaan – penghargaan yang sudah kamu raih sejauh ini, juga kesempatan masuk Perguruan Tinggi Negeri dengan jalan yang lebih mudah dari anak – anak lainnya."

Mulut Sunghoon terasa pahit mendengar penuturan Bu Tian barusan. Kata "Jelas" dan "pasti" adalah dua hal yang paling jauh di hidup Sunghoon. Bahkan ia masih sering bertanya – tanya mau apa sebenarnya dia sejauh ini menjadi seorang Figure Skater? Sunghoon bahkan gak punya keinginan untuk menjadi seorang juara dunia dan semacamnya, atau sekedar berkompetisi di SEA Games membawa nama Tanah Air. Hanya karena Sunghoon memprioritaskan skating lebih dari kehidupan remajanya, bukan berarti Sunghoon punya tujuan yang jelas dan pasti, kan?

Bu Tian dan Pak Jamal bukan yang pertama. Banyak yang asal berpendapat kalau dengan kemampuan dan segudang penghargaan di bidang figure skating, Sunghoon pasti akan mendapat Perguruan Tinggi Negeri yang dia inginkan, atau seenggaknya jalan mulus ke arah masa depan yang cerah dan sebagainya. Tapi Sunghoon yang lebih tau, kalau segalanya yang ia pegang sekarang gak ada yang bisa membawanya menuju kata pasti. Karena kepastian adalah sebuah opini, sisanya hanyalah faktor pendukung yang membuat kata "pasti" tersebut bisa tepat sasaran.

"Ibu dan Pak Jamal gak menyuruh kamu untuk buru – buru menentukan kok. Kelas 12 kan baru saja mulai, jadi kamu masih punya waktu untuk pikir – pikir mau bagaimana selanjutnya. Karena jujur, akan sayang semua perjuangan kamu selama ini kalau ujung – ujungnya kamu gak mau kuliah dan gak tau mau jadi apa. Kalau begitu untuk apa kamu jadi figure skater selama hampir 10 tahun kalau pada akhirnya kamu sama saja seperti mereka yang gak punya prestasi apapun dan berakhir jadi pengangguran. Bukan begitu?"

Sunghoon benci dipaksa, terutama ketika menyangkut hidupnya. Tapi lagi, kedua gurunya ini gak diberi alasan yang cukup kuat untuk mengerti kenapa Sunghoon gak ingin menjadi apa atau siapa – siapa dalam hidupnya.

"Yah, gak apa – apa Sunghoon. Mau sebingung apapun kamu sekarang, kamu pasti akan menemukan apa yang kamu mau nanti. Bapak yakin. Gak usah buru – buru, dan nikmati waktu kamu selagi kamu bisa. Nanti kalau saatnya tiba, kamu akan sadar kalau kuliah itu penting," ucap Pak Jamal.

Sisanya terasa seperti dengungan lebah di kuping Sunghoon. Pemuda itu gak bisa fokus mendengarkan Bu Tian yang masih lanjut dengan informasi – informasi seputar kuliahnya, juga Pak Jamal yang sesekali tertawa. Pandangan Sunghoon seperti berputar mengikuti gerakan pajangan dinding di belakang kursi Pak Jamal, dan kepalanya hampir kosong mencoba mencari alasan kenapa dia harus punya kepastian dalam hidupnya. Gak bisakah dia pergi sesuai kata hati? Atau hidup sesuai takdir? Maksudnya, whatever happen, happens, right?

"nah, segitu saja. Karena ibu ada seminar dan ibu mesti siap – siap sekarang. Kamu boleh pulang," ucap Bu Tian sembari mengelus pundak Sunghoon dan tersenyum lembut. Sunghoon berdiri, mengangguk sopan pada Bu Tian dan Pak Jamal sebelum keluar dari ruang Bimbingan Konseling dengan perasaan timpang.

Hari ini hanyalah hari lain penuh dengan pertanyaan mengenai hidupnya. lagi.

••

pasti banyak gak sih yang ngalamin kayak Sunghoon? doesn't really know where to go or what to do in the future, and yet people keep telling us what we have to do:(
buat yang ngalamin hal serupa, hang in there! take your time, and please remember that you'll find what you want sooner or later!

love,
-👑

••

m u l t i e r r y t h i n g

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

m u l t i e r r y t h i n g

Silver Lining | I-LANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang