[8] Dream Is A Luxury

174 43 14
                                    



"Jaya, ini tolong Bunda bawain kedepan," wanita berumur 48 tahun itu menyerahkan sepiring besar tempe orek kering pada anak bungsunya yang sudah rapi dengan seragam putih – putih khas hari seninnya.

"Nda, Tante Irene nanyain gorengannya udah belom?" tanya Jay sembari mengambil piring yang Bundanya serahkan.

"iya dikit lagi mateng, tunggu sebentar." Jawab Bundanya sebelum berbalik menghilang dari balik tirai dapur. Jay mengangguk – angguk paham sebelum kemudian berjalan keluar rumah untuk menaruh piring berisi tempe orek kering ke dalam etalase khusus tempat berjualan nasi uduk bundanya.

"Te, bentar ya, dikit lagi mateng gorengannya," ucap Jay pada seorang tetangga cantik yang sedang duduk di bangku panjang depan etalase.

"Iya gapapa, ini punyanya si Om dulu deh yang pake semur," dan sesuai permintaan Tante Irene, Jay melakukan tugasnya.

Beginilah rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat sekolah, membantu Bunda dan Kakak perempuannya berjualan nasi uduk. Itu sebabnya hampir tiap pagi Jay selalu datang mepet bel masuk—sebenarnya sudah telat kalau gak bareng tetangganya naik motor sampai halte depan sekolah. Biasanya Jay akan berangkat tepat pukul 6.15 atau paling lambat 6.20 sambil berdoa dalam hati gerbang belum ditutup.

"Nda, berangkat!" pamit Jay sembari melangkah cepat keluar rumah dimana Minhee—tetangganya—sudah nangkring di atas motor supra hitamnya lengkap dengan jaket jeans ala dilan.

Walaupun Minhee yang kalau bawa motor selalu ngebut dan ahli selap – selip, pemuda yang rumahnya berjarak 20 langkah dari rumah Jay itu selalu punya topik untuk dibahas tiap pagi bersama si penebeng tetap.

"sekolah gue udah mulai ulangan harian masa," keluh Minhee sembari menggas motornya di tengah – tengah bajaj biru dan mobil alphard hitam. "stress gue kelas 12. Kemaren naik kelas aja untung – untungan,"

"samalah anjing, gue kalo pelajaran Mandarin aja jarang masuk tau tau naek," sahut Jay yang ingat nilai Bahasa Mandarin di rapotnya hanya dapat sebatas KKM.

"Lo les gak?" tanya Minhee kali ini dengan volume sedikit keras karena motornya sedang di gas penuh menaiki jalan layang.

"boro – boro! Lo tau sendiri gue gak bakal kuliah!" jawab Jay dengan volume suara lebih keras.

"Ah iya anjing, sama," keluh Minhee lagi. "stress gak sih lo? Gue mau protes tapi ya tau diri aja, dirumah cuma Abang gue doang yang kerja, itu juga di Ulfamart. Gue makan sehari sekali aja masih syukur. anak – anak ambis di kelas gue mah udah pada bimbel sono sini. Sekolah juga baru dua minggu udah bimbel buat PTN,"

Jay jadi teringat teman – teman sekelasnya juga, termasuk Jake yang sering sambat karena dipaksa terus – terusan untuk menghadiri segudang bimbel.

"gue mah kalo ditanya sebenernya pengen, Jay, kuliah. Di keluarga gue gak ada yang kuliah. Tapi gimana ya anjing gue kan geblek gini, nilai jelek – jelek, keuangan keluarga juga jelek gak bisa bantu masukin gue ke tempat les – les bagus. Kadang kalo ditanya iri apa enggak ya irilah sama yang bisa belajar tambahan tanpa khawatir biaya, sekarang udah terlanjur kelas 12 gini alah mana bisa gue dapet PTN," cerocos Minhee selagi motornya turun dari jalan layang.

Sambatan Minhee yang terdengar kelewat frustasi di telinga Jay itu seperti menamparnya. Jay bahkan gak pernah memberi dirinya pertanyaan tentang kuliah atau pendidikan lanjutan semacamnya. Semenjak Bunda dan Ayahnya selalu bilang kalau mereka gak punya cukup biaya untuk menguliahkan anak – anaknya, Jay gak pernah ambil pusing tentang apa yang akan ia lakukan setelah lulus. Tapi mendengar ocehan Minhee pagi ini seperti membuka pintu kesadaran Jay yang selama ini tertutup rapat.

"sumpah gue selama ini bodo amat kan sama gitu – gituan. Gue pikir, ah ntar juga lulus paling gue ikut ngelamar di Ulfamart. Tapi pas kemaren nih dapet ceramah dari Bu Titi, buset, bener dah gue kayak disebor hidayah anjay. Dia bilang orang yang kuliah tuh mampu naikin derajat orang tua. Terus gue mikir 'wah anying ada benernya juga'. gue kadang frustasi gitu emak gue pulang dari tukang sayur keknya sedih, pas gue tanya taunya ada yang gosip di situ anaknya si A masuk PTN ini, anaknya si B masuk PTN itu. Gue sadarlah, kalo gue berhasil masuk PTN pasti tetangga – tetangga mandang keluarga gue gak serendah kemaren – kemaren. Ye, gak?"

Iya. Minhee benar. Lantas kenapa gak pernah terpikir oleh Jay selama ini? apa hal – hal semacam kuliah dan cita – cita terlalu jauh terkubur oleh realita?

"Gue juga, Hee," ucap Jay pelan dan tiba – tiba. Bukankah diantara keluarganya harus ada yang sekolah tinggi dan menaikan derajat keluarga juga? Bukankah ini saatnya Jay berusaha jadi anak yang bisa membanggakan orang tua?

"'paan, Jay? Gak denger!" teriak Minhee.

"Hah?" sahut Jay yang agak bingung karena sempat melamun.

"LO NGOMONG APAAN MONYET GUE GAK DENGER!"

"OH, KAGAK!"

***

Jay berhenti di tengah lorong dan berhadapan dengan mading di dekat ruang OSIS. Ia baru sadar kalau mading penuh dengan segala macam selebaran promosi kampus – kampus. Mulai dari swasta sampai info tentang Universitas Negeri sebagai tujuan anak – anak yang dapat jalur undangan maupun melalui jalur test bersama.

Mata Jay pun menelusuri satu persatu daftar nama Perguruan Tinggi Negeri. Terselip pertanyaan dalam kepala, "bisakah ia mengejar ketertinggalan?" selagi telunjuknya berhenti pada salah satu nama universitas terbagus di Indonesia. Selama ini Jay gak pernah bertanya apa yang sebenarnya ia inginkan. Menurutnya, mimpi adalah sebuah kemewahan yang gak bisa dimiliki semua orang, terutama orang – orang seperti dirinya. Jay hanya melakukan hal – hal yang ia senangi selagi bisa dan punya kesempatan, tanpa pernah bertanya apa sebenarnya yang ia tuju dalam hidup. Toh, menurutnya, orang kuliah juga tujuannya untuk kerja dan dapat uang, jadi untuk apa membuang – buang uang di awal untuk biaya kuliah dan sebagainya? Dan lagi pagi ini Jay akhirnya sadar, bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas di negara wajib pendidikan 12 tahun ini, pendidikan dan cita – cita jelas lebih penting dari itu.

Menghela napas, Jay mencengkram tali tasnya sebelum berbalik dan berjalan menuju tangga. Mencoba berpikir matang – matang tentang apa yang akan ia lakukan kedepannya. Apa pun itu, yang terpenting ia harus yakin kan?

••

Minhee as today's cameo!😍
anyway, part ini somehow mendeskripsikan masalah Jay yang sebenernya sih gak jauh beda sama dua temennya yang lain—sama - sama gak bisa menentukan mau kemana, dan gak bisa ngejalanin apa yang dia mau. cuma bedanya, masalah Jay akarnya di ekonomi. gak ada yang lebih mending sih menurut gue, jadi buat kalian yang masih bisa ngejalanin apa yang kalian suka dan ngejar mimpi kalian tanpa hambatan, jangan lupa bersyukur!❤️✊🏻

love,
-👑

*tentu bonus fotonya Kang Dilan kw :(<3

*tentu bonus fotonya Kang Dilan kw :(<3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


••

m u l t i e r r y t h i n g

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

m u l t i e r r y t h i n g

Silver Lining | I-LANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang