Lo percaya takdir?
Percaya.
Kenapa?
Karena gue ketemu lo.
**
2016
Arbinta
"Kak?" cewe dibelakang gue mencolek gue lagi karena gue masih berdiam diri.
Diliat dari baju yang dia pakai gue tau dia crew yang mengkoordinasikan panggung dan masih terus mengikuti gue sejak dia menemukan gue persis dibalik tirai panggung.
Sebenarnya gue enggan untuk ikut manggung hari ini, tapi karena ini termasuk event yang agak besar, jadi sayang kalau gue menyia-nyiakan kesempatan.
Dua minggu yang lalu, setelah band gue dikonfirmasi untuk tampil gue, Rei, Brian, dan Je berlatih siang dan malam sebisa mungkin gue menginginkan kesempurnaan. Ini pertama kalinya kita ada di event besar setelah satu tahun setengah band gue terbentuk.
Jalur orang dalam juga berpengaruh besar, salah satu keluarga Brian ikut andil di event ini makanya kita bisa tampil disana.
Karena gue berlatih terus menerus, sejujurnya gue hampir lupa soal kuliah gue.
Dari awal Papa memang nggak suka gue terjun ke dunia musik. Maklum, tipikal orang tua jaman dulu yang mengatakan akademik adalah segalanya.
Apalagi Papa pernah menjadi rektor di salah satu universitas negeri di Jawa Timur sebelum beralih ke ranah bisnis.
Empat hari sebelum jadwal gue berangkat, gue berlatih dirumah. Di belakang rumah gue ada garasi kecil yang gue jadikan studio mini.
Waktu gue selesai latihan, Papa ternyata udah pulang dari dinas luar kotanya, duduk diruang tamu dan itu adalah hal yang paling gue takuti seumur hidup.
"Dari mana kamu?" Suara Papa begitu tegas dan mengintimidasi walaupun disambi dengan minum kopi.
"Latihan, Pah." Jawab gue cepat sambil menunduk.
"Kamu ini, masih nggak nurut sama orang tua. Sudah berapa ratus kali, Papa bilang kamu nggak usah main dengan band sampah mu itu?"
Satu kata, gue masih menahan.
"Nggak berguna kamu main Band, memang main Band bisa membuat kamu pintar dan sukses? Bisa mendapat gelar?"
"Teman-teman Band mu itu juga pasti nggak terurus seperti kamu."
"Kamu beruntug punya Papa macam saya. Yang mengurusi anaknya, nggak seperti mereka orang tuanya pasti tidak mengurus."
Gue nggak suka teman-teman gue dianggap kaya gitu.
"Pah... udah pah.." suara gue terdengar lirih tapi gue yakin, Papa pasti nggak mendengar.
"Apa yang mau kamu banggakan?"
"Bisamu cuma bikin keluarga malu. Coba lihat kakak mu!"
Lagi. Kata-kata itu lagi.
Mata gue mulai memanas, pusing, detak jantung gue rasanya semakin kencang.
"Bisa kuliah di UI, dapat lulusan terbaik, kerja di stasiun TV besar, coba lihat kamu?" Tatapannya tajam ke arah gue, Mama disebelahnya nggak bisa melakukan apa-apa selain mengelus pundak Papa menyuruh sabar. Wajahnya pun tampak khawatir.
"Keluargamu ini semua lulusan terbaik, apa kata orang nanti?"
"Kamu, sudah cuma di sekolah swasta, lulus tiga setengah tahun aja nggak bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost & Found [CHANxSEUL]
Fanfic[SELESAI] Binta tidak punya banyak harapan, hanya satu. Untuk diterima. Abel tidak pernah meminta, tetapi dia selalu menerima dan tidak bisa menolak. Mereka bertemu, untuk saling belajar dari kekurangan mereka dan menemukan kebahagiaan mereka. NOTE...