I'm coming

56 39 12
                                    


****

Helo, everyone! Just read and enjoy

Chi Na menatap serius laptop di meja belajarnya. Kacamata baca anti radiasi yang bertengger di hidungnya nyaris melorot. Tapi ia masih berkutat dengan ribuan data serta laporan.

Ini masalah serius. Dan ia harus turun tangan. Bagaimanapun juga ini tentangnya, urusannya, dan tanggung jawabnya. Ia tidak boleh merepotkan orang lain.

Chi Na menutup laptop. Beranjak cepat dari kursi putar dan masuk ke walk in closet. Ia membuka laci besar di bagian paling bawah. Menyeret sebuah koper besar berwarna hitam dari sana.

Chi Na membuka koper itu cepat. Ia tak pernah bersikap sepanik ini sebelumnya, karena dalam keadaan seburuk apapun, ia biasanya tetap bisa tenang. Tapi kali ini kondisinya berbeda. Rasa adrenalin yang terpacu kembali ia peroleh setelah sekian lama.

Chi Na membuka pintu-pintu lemari. Mengeluarkan semua pakaian yang mungkin ia perlukan. Gadis yang rambutnya sudah kembali pirang itu merenung sejenak. Ia berpikir, kira-kira berapa lama ia di sana? Dan seberapa banyak setelan baju yang perlu ia bawa?

Chi Na menggeleng. Kekurangan baju itu bencana, tapi kalau kelebihan itu tak apa. Ia pun akhirnya memasukkan pakaian sesuai ukuran kopernya. Yang penting ada baju ganti, pelengkapnya, sepatu, topi, dan beberapa alat pelindung diri. Begitu koper terisi penuh, ia segera menutupnya.

Chi Na memandang pantulan dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki di depan cermin.

"Oh, no no..."

Ia menggeleng, ini bukan setelan untuk beraksi. Pakaian tidur ala anak rumahan? Bisa-bisa ia kena ejekan dari semua anggota.

Chi Na buru-buru memilih baju, ia mengambil celana hitam panjang, kaos putih polos, dan jaket kulit hitam. Dengan kilat ia berganti di ruangan khusus. Ia kembali ke depan cermin, sebelum itu ia sudah melempar pakaian yang lalu ke keranjang kotor.

Chi Na menyibak rambut panjangnya. Ia mengaduk isi laci rias, mengambil kunciran. Rambut itu ia cepol satu di belakang, dengan sedikit anak rambut yang jatuh di dahi. Ia kemudian mencari sepatu dan topi yang cocok. Lalu pilihannya jatuh ke sebuah boots pendek warna hitam dan topi baseball dengan warna senada.

Ia memakainya. Setelah dirasa siap, ia menyambar hp di atas nakas dan menyeret kopernya keluar dari kamar. Ia sedikit kesulitan saat menuruni tangga, yang tanpa sadar membuatnya mengumpat jengkel. Sepertinya ia harus minta appa-nya untuk menyediakan lift di rumah ini.

Chi Na menoleh ke kanan dan ke kiri. Sorot matanya tajam dan waspada. Ia menghela nafas lega kala tak ada tanda-tanda keberadaan eomma di sekitar sana. Ia pun buru-buru membawa lari barangnya ke pintu depan.

"Amankah?"

Jantungnya berdegup cukup kencang. Eomma tak pernah suka ia ada di dalam organisasi ini, meskipun demikian, eomma tak bisa menolak keinginannya. Tapi kembali ke sosok seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya, eomma tak pernah tenang saat Chi Na pergi dalam misi apapun. Bahkan meski itu misi kecil yang sederhana.

Chi Na perlu melewati ruang tengah, lalu lorong, dan kemudian ruang tamu. Baru setelah itu ia dapat mencapai pintu utama untuk keluar masuk istananya. Ia kembali mengangkat koper untuk menuruni tangga. Lalu kembali menariknya melewati jalan setapak di taman menuju garasi.

Ohh, mendadak ia merasa amat penat punya rumah yang kelewatan besar. Padahal hanya dari kamar ke depan, rasanya seperti maraton lima kilo. Oke, lupakan keluhan tak mutu Chi Na. Gadis itu kini sedang celingak-celinguk mencari keberadaan penjaga.

Ada beberapa satpam di rumah ini. Jelas, istana seorang konglomerat pasti punya penjagaan yang ketat. Ia tersenyum lebar kala mengetahui bahwa pak penjaga baru saja melewati garasi, patrolinya berputar, dan baru akan kembali ke sini setelah memeriksa sampai di seberang rumah sana.

Chi Na memasuki garasi rumahnya. Garasi itu besar, lebih besar daripada kamarnya. Ada belasan mobil mewah yang ditata di sana. Chi Na berlari meninggalkan kopernya menuju lemari kaca. Di sana tempatnya kunci para mobil ini berada.

Chi Na mengabsen setiap jenis kunci yang ada dengan cepat. Ia kemudian memilih salah satu jenis mobil BMW, ia tak paham serinya, yang jelas bentuknya keren dan ia suka. Semoga ia bisa membawa pulang mobil ini dalam keadaan utuh, bila tidak... uh, appa-nya akan mengamuk.

Chi Na mendorong pintu lemari geser itu. Ia berjinjit untuk mendapatkan kunci mobil pilihannya. Ia dengan cepat kembali berlari ke tempat ia menelantarkan kopernya.

Chi Na mengelilingi garasi sambil menekan tombol di kunci. Mencari di mana tempat mobil itu terparkir. Dan setelah kebingungan kesana-kemari, akhirnya ia menemukan mobil itu. Warnanya hitam dengan hiasan biru. Ramping dan berkilau.

Chi Na tersenyum senang. Ia tak salah pilih walau ia hanya asal ambil karena namanya keren. Ia membuka bagasi, meletakkan kopernya di sana. Lalu ia duduk di kursi kemudi. Pertama-tama ia mengelus lingkaran kemudi itu. Sepertinya desain interiornya sudah dimodif sedikit.

"Daebak!"

Chi Na menghidupkan mesin mobil. Suara gemuruh lembut membuat kesenangan yang ia rasakan semakin meningkat. Lalu ia segera menekan pedal gas. Melajukan kendaraan beroda empat itu dengan pelan.

Chi Na menatap awas kala ia mendekati gerbang. Ia yakin sekali ada pengawas di sana. Entah itu cctv atau hanya pak penjaga. Cctv bisa saja ia acuhkan, tapi orang-orang sewaan appa-nya itu... mereka pasti mengintrogasi dulu tujuan kepergiannya.

Chi Na menghentikan mobil itu kala melihat bahwa gerbang setinggi empat meter itu tak ada tanda-tanda hendak dibuka. Ia menurunkan kaca mobil. Kacamata hitam yang baru saja ia pakai tak ia lepaskan.

"Pak! Bisa buka gerbangnya?!" perintah Chi Na. Sesungguhnya ia sudah pakai nada ngegas dan eskpresi galak. Biar pak satpam tidak banyak tanya dan langsung kerja.

Tapi semua itu hanya ekspetasi Chi Na. Mereka, semua orang yang ada di sini adalah pekerja orang tuanya. Mereka dibayar dan patuh pada orang tuanya. Bukan dirinya.

Salah satu laki-laki berseragam hitam mendekati kaca mobil. Pria itu menunduk sebentar lalu kemudian mengucapkan pertanyaan yang sudah bisa Chi Na tebak.

"Nona mau kemana?"

"Hanya jalan-jalan biasa, bisa buka sekarang, Pak?" jawab Chi Na.

"Bisa beritahu saya lokasi spesifiknya? Biar nanti kalau tuan dan nyonya tanya saya bisa jawab," kata pak penjaga itu.

Chi Na menghela napas. Ia melepas kacamata, tatapan sinis khas nona muda itu terpancar jelas. "Bilang saja ke mereka, saya pergi main, mereka tidak akan marah," kata Chi Na.

"Tapi mereka akan marah kepada kami jika Nona pergi tanpa pamit," sanggah pria itu.

Chi Na memutar bola mata. "Itu bukan urusan saya, ya, Pak. Tolong buka gerbangnya jika tidak saya akan tabrak," ancam Chi Na.

Pria itu terlihat sedang berpikir. Menimbang, nona muda ini tak pernah main-main, tapi ia juga tidak bisa asal menurut. Bisa-bisa gajinya yang dipertaruhkan.

"Oh, begitu, ya. Oke!" Chi Na menekan gas kencang. Suara berisik terdengar memekakkan telinga, tapi ia belum memasukkan perseneling. Ini baru gertakan semata.

Penjaga itu buru-buru menekan tombol buka. Akan lebih bahaya bila sampai nonanya nekat, bukan gaji saja, ia bisa kehilangan pekerjaan ini. Gerbang pun akhirnya bergeser. Lalu dengan senyum miring Chi Na membawa mobilnya keluar.

.
.
.
.

I do everything I like, just mind your own business–

If you know a little bit, let vote and comment for the next part

FYS : C vs C [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang