Halo
Happy reading and don't forget to vote and comment
.
.
.
.Chi Na melangkah dengan santai. Kebetulan sekali orang-orang Kvozde hanya menempatkan satu orang pengawas di tempat ia ditahan tadi. Apa sebegitu yakinnya mereka kalau ia tidak bisa kabur dari kurungan itu?
Chi Na memilih jalur lain, jalan yang arahnya berkebalikan dengan awal ia datang tadi. Ia melambatkan langkah kaki kala lorong di hadapannya mulai memendek. Ia tidak bisa asal melenggang di sini, ia harus senantiasa memeriksa dahulu.
Gadis dengan jepit warna-warni di rambutnya itu mengintip sedikit. Ia mengawasi keadaan sekitar sana sambil mengusap pipi, menghilangkan noda darah segar yang masih menempel. Ada dua orang mendekat! Ia pun segera menarik diri, merapat ke dinding. Berharap tidak ketahuan.
Setelah ketukan sepatu itu menjauh, Chi Na kembali menyembulkan kepalanya. Lorong ini menghubungkan sebuah ruang lain. Seperti lobi, dengan tiga cabang jalan berbeda.
Chi Na memasang matanya setajam mungkin. Ia harus bisa membuat pilihan yang tepat. Salah masuk koridor, maka nasibnya berakhir di sana.
Dimulai dari jalan paling kiri. Sebuah lorong dengan lebar empat meter. Berlantai marmer putih bersih dengan platfon senada. Lorong itu berbelok setelah dua puluh meter, dan tidak ada apa-apa sepanjang jalan lurusan tersebut.
Jalan kedua, yang ada di tengah-tengah. Sebuah tangga menurun dengan lebar nyaris lima meter. Ada pegangan besi di kedua sisi tangga itu. Kemungkinan besar mengarah ke lantai bawah.
Jalan ketiga, paling kanan. Ada pintu kaca geser yang besar. Di balik itu sepertinya hanya ruang biasa. Entah ada apa saja, Chi Na tidak bisa melihat jika tidak ada yang membuka.
Gadis dengan setelan gelap itu bersandar di dinding, sedang berpikir. Ada di lantai berapa dirinya ini? Ia melihat ke sekitar, kanan kiri depan belakang. Tidak ada tulisan, atau setidaknya kode yang bisa memberikan informasi sedang ada di mana dirinya kini.
"Haish!"
Chi Na menimang-nimang, lalu menunjuk bergantian tiga jalan itu secara acak. Setelah merapalkan mantra dengan nama kakeknya yang tersohor sebanyak lima kali, pilihan pun jatuh ke jalan kedua. Yang berada tepat di tengah-tengah.
Chi Na menoleh ke kanan dan kiri, bersiap menyeberang. Begitu dirasa aman, ia langsung lari. Kaki jenjangnya melangkah lebar tanpa suara. Lalu menuruni tangga besi dengan penuh waspada.
Akhir tangga besi itu bercabang, dengan dua arah yang berlawanan. Setelah turun dengan sekitar tiga puluh anak tangga, pagar besi itu berubah jadi jalan kecil yang membentang di atas pipa besar di dalam sebuah saluran.
Chi Na tidak tahu tempat apa ini. Tapi berdasarkan analisanya secara singkat, mungkin ini saluran air kalau tidak udara, ya kalau masih salah juga maka ia tidak punya tebakan lain.
Kaki dengan sepatu boots berhak pendek itu melangkah ringan. Chi Na berjalan di salah satu sisi jembatan dengan mengendap-endap. Ia meraba permukaan dinding, terasa dingin.
"Kemana jalan ini mengarah?" tanyanya pada diri sendiri.
Chi Na terus menyelusuri tempat itu. Semua benda masih monoton. Hanya ada pipa raksasa, jembatan besi dengan lebar setengah meter, dan platfon putih dengan banyak kabel besar.
Setelah perjalanan lama yang membosankan, iris Chi Na menangkap obyek lain di tempat itu. Sebuah pintu, dengan desain seperti brankas. Ia segera berlari mendekat.
Tangan pucatnya yang terbalut sarung tangan kulit menyentuh permukaan pintu itu. Ia kemudian mencoba memutar kunci, yang bentuknya seperti setir mobil dengan diameter tengah sekitar tiga puluh senti.
"Astaga... ini kuat sekali!" Chi Na meringis, tangannya sampai terasa perih.
Sadar usahanya sia-sia, Chi Na memutar otak. Mencari jalan lain. Gadis itu kemudian teringat dengan senjata canggih yang ia bawa dari markas SEA. Ia mengeluarkannya dari balik jaket.
Sebuah pipa kecil. Bewarna putih susu yang tampak mengkilap. Chi Na tersenyum senang, senjata itu... entah kenapa alasannya, namun ia merasa sangat menyukainya.
Ia menyentuh ujung pipa, menekan tombol kecil yang tidak terlalu menonjol. Benda yang panjangnya hanya dua puluh sentimeter itu mendadak bercahaya, tidak terlalu terang. Lantas berubah bentuk menjadi sebuah tongkat dengan tinggi nyaris dua meter.
Chi Na mengayunkan tongkat itu dengan gerakan memutar yang cepat. Ia kemudian menghunuskannya ke pintu besi. Tepat di bagian kuncinya.
"Wow, kau lebih tangguh daripada yang kuduga," ujar Chi Na.
Pintu itu tidak bergeming, bahkan bagian yang terkena serangan tidak lecet barang sedikitpun. Chi Na memutar sisi tongkat di bagian teratas. Benda itu kembali bereaksi, warna putihnya yang ada di ujung hilang sepanjang satu jengkal. Berganti dengan sebuah layar transparan dengan banyak ikon kecil.
Chi Na mengusap layar mini yang melingkar itu. Persis seperti smartphone, benda itu bisa discroll naik turun. Chi Na kemudian menekan ikon kotak yang memiliki lambang fire di dalamnya.
Seketika, ujung tongkat yang menempel di pintu besi mulai berubah warna. Tongkat itu menjadi sangat merah dan amat panas. Aliran konduksinya membuat pintu besi leleh, sedikit demi sedikit. Asap putih pun muncul di sekitar pertemuan kedua benda itu.
Tak butuh waktu lama, kunci yang susah dibuka tadi rusak. Benda dengan bentuk cincin besar itu jatuh berkelontang di lantai. Chi Na menendang benda itu, lantas membuka paksa si pintu besi.
"Akhirnya!" serunya senang.
Chi Na bergegas masuk. Baru saja kakinya membuat empat langkah pertama, sebuah kepala tangan mendadak terulur kepadanya. Nyaris mencium pipinya jika ia tak segera mengangkat tongkat, menahan serangan.
"Hello, girl!" sapa orang itu.
Chi Na menoleh. Mendapati seorang wanita yang mungkin baru menginjak usia dewasa awal dengan potongan rambut nge-bob dan warna merah menyala di bagian bawahnya, hendak melempar bogem mentah.
Chi Na sontak mundur, memukulkan tongkatnya ke depan, serangan wanita itu berhasil ia belokkan.
"Apa kau hendak menangkapku?"
"Ah, mungkin saja. Jika kau tidak mati sebelum itu," ucapnya remeh.
Chi Na menggeram, ia benci direndahkan seperti ini.
"Sini kau, heh!"
Chi Na melompat, menerjang si rambut bob yang telah memasang kuda-kuda. Ia memukulkan tongkatnya, ditepis segera dengan lengan kanan sang lawan.
Wanita itu mengayunkan kaki cepat, mengincar sisi depan tubuh Chi Na.
"Eh–"
Chi Na beringsut mundur. Ia menggeleng sekali, mengibaskan rambutnya agar menyingkir.
"Kenapa, bocah?" Wanita itu berjalan santai, memutari Chi Na dengan radius jarak dua meter. "Ayo serang aku!" Ia mengode dengan gerakan jari telunjuknya.
"Ck, dasar wanita tua!" ejek Chi Na.
Wanita itu melotot. "KAU BILANG APA?" sewotnya ngegas.
Chi Na mengibaskan tangan, membuang muka ke arah lain. "Haishh, sudah tua, tuli pula," katanya prihatin.
Mata si wanita bob itu makin melebar. Chi Na bahkan sampai berpikir mungkin saja bola mata lawannya itu akan keluar jika hal ini terus berlanjut.
"TY NAGLYY REBENOK!"
(DASAR BOCAH INGUSAN KURANG AJAR!).
.
.
.Ada tanggapan?
Ada kesan dan pesan?
Nemu typo atau kesalahan PUEBI?Just tell me, okay 🎉
Vote and comment for the next part, see you soon 💛💛💛
Babay
KAMU SEDANG MEMBACA
FYS : C vs C [Slow Update]
Ciencia Ficción[privat acak, follow me first] . . . . We will be enemies even to hell though_ ©