Ke-Enambelas

24 9 2
                                    

Jam diponsel menunjukan pukul 15:30. Waktu yang pas untuk berangkat, pikir Jo. Ia segera memberitahu Nindy untuk bersiap-siap.

Ia mulai mengeluarkan motornya dan melaju kerumah Nindy. Ya cukup lama ia menunggu. Karena menunggu wanita bersolek adalah hal yang membosankan. Tapi jika yang ditunggu adalah orang yang disayangi, tidak jadi masalah.

Kemudian mereka siap untuk berangkat. Waktu yang dibutuhkan cukup lama. Ya sekitar 1 jam dari komplek rumah mereka menuju pantai.

Niat ingin membuka suara, akhirnya diurungkan oleh Jo. Suara gesekan angin lebih besar, jadi percuma saja jika membuka suaranya untuk mengobrol dengan Nindy.

Tangan Nindy, ia masukan kedalam saku jaket milik Jo. Cuacanya tak begitu terik, sangat cocok untuk pergi kepantai. Ia makin mempererat pelukannya. Seakan ia tak akan pernah melepaskan Jo.

Sebenarnya ia masih bingung, ternyata benci bisa menjadi suka bahkan sekarang sayang. Jika dulu ia biasa-biasa saja dan menganggap Jo sebagai sahabat, mungkin ia tak akan berpacaran dengan lelaki yang sedang memboncengnya ini.

Pikirannya jadi berputar kebelakang. Mengingat kembali kejadian, saat Jo marah dengan dirinya. Dan akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia bergidik. Nindy malu sendiri jika memikirkan hal itu.

Akhirnya setelah menempuh waktu yang lama, mereka sampai juga di pantai. Pasir putihnya, aroma lautnya, anginnya. Mereka tersenyum saling memandang. Jo meraih tangan Nindy dan berjalan bersama menginjak diatas pasir pantai itu.

Untung saja mereka belum melewatkan sunset. Karena hal itu lah yang mereka tunggu. Suara ombak itu menenangkan siapapun yang mendengarnya.

Jo melepaskan genggamannya dan kini ia merangkul wanita disampingnya ini. "Aku boleh tanya" Nindy mulai bersuara dan menatap mata Jo.

"Silahkan"

"Aku boleh gak sayang sama kamu?"

Jo terkekeh pelan "pertanyaan macam apa itu"

"Bukannya dijawab yang benar" Nindy mencebikkan bibirnya.

"Tolong bibirnya dikondisikan, sebelum kamu saya cium"

Ia malah semakin memanyunkan bibirnya. Ia tak takut dengan perkataan Jo. Karena menurutnya Jo tak mungkin menciumnya.

Wanita ini memang benar-benar menggemaskan, ujar Jo dalam hatinya. Dengan gerakan cepat Jo mencium pipi Nindy. "Saya udah bilang bukan?" kata Jo setelahnya.

Perbuatan Jo tadi sukses membuat Nindy terdiam. Ia tak berani lagi menatap lelaki ini. Dan Jo, ia mulai duduk diatas pasir pantai dan mencoba diam sambil memandangan keindahan sang surya yang hendak menghilang ini.

Ia menarik tangan Nindy agar ikut duduk disampingnya. Nindy tak berani bersuara lagi. Ia ikut diam dan memandang kearah matahari. Sesekali ia menoleh kesamping untuk memandang Jo diam-diam.

Jika bisa didengar, Nindy sedang berteriak didalam dirinya saat ini. Ia merasa sangat malu, tapi sekaligus senang. Tangannya bergerak merapikan rambut yang diberantaki oleh angin.

"Ada sejenis kamu nih" ucap Jo tanpa memandang Nindy.

Nindy yang semula menghadap depan seketika menghadap kesamping, kearah Jo. "Masa aku disamain sama angin sih"

Sebelum Jo berucap Nindy menutup mulutnya dengan jari yang ditempelkan kebibir Jo. "Pasti kamu mau bilang, 'karena kamu itu buat nyaman, kayak angin pantai' begitu kan?"

Tanpa menjawab lagi, Jo hanya tersenyum dan memandang dalam kearah Nindy. "Makasih ya angin"

"Sama-sama"

"Kok kamu yang jawab, saya kan lagi berterima kasih sama angin pantai ini"

"Kata kamu aku angin pantai, jadi aku yang mewakili mereka" kata Nindy, ia tak mau kalah dengan Jo.

Jo mengacak-acak rambut Nindy gemas, "terserah kamu deh"

"Ih, udah diberantakin angin, tambah diberantakin sama kamu" keluh Nindy. Ia kembali merapikan rambutnya dengan tangannya.

"Tunggu sebentar ya" ucap Jo. Ia pergi meninggalkan Nindy yang masih merapikan rambutnya.

Seketika itu Nindy tersentak, "eh mau kemana?"

"Tunggu disitu aja, jangan kemana-mana" jawab Jo yang mulai menjauh dari tempat Nindy duduk.

Ia pergi kesalah satu warung yang tersedia disana. Hanya membeli minuman dan dua buah jagung bakar. Jika menikmati keindahan dengan perut lapar dan tenggorokan kering akan sangat tidak baik.

"Bu pesen jagungnya dua, jangan tambahin angin ya" ucap Jo kepada penjual jagung bakar itu.

Penjual yang semula bertanya-tanya dengan apa yang diucapkan Jo itu, kemudian hanya mengangguki pesanan Jo dan segera menyiapkannya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar enam menit, pesanannya telah siap. Setelah membayarnya, Jo segera membawanya ke Nindy. Mungkin wanita itu tengah menunggunya sambil berbincang dengan sesamanya disana.

"Kamu tau? langit itu indah, sebab ia tidak sendiri. Kalau sendiri, mungkin akan hilang kata indahnya" ucap Jo sambil menyerahkan jagung bakar ke Nindy.

Nindy yang tiba-tiba mendenger ucapan Jo itu, seketika berpikir sambil berucap terima kasih kepada Jo untuk jagung bakarnya.

Kini gantian Nindy yang berucap. "Angin itu sejuk, bukan. Karena ada udara didalamnya"

"Makin pintar berkata-kata ya kamu"

"Iya dong, aku kan selalu makan kata-kata dari kamu"

"Lebih enak makan jagung bakar" kata Jo, ia memakan jagung bakar yang tadi dibelinya.

Dan, perlahan cahaya oranye itu menjadi hitam. Kelam. Namun kini kelam itu menghilang. Kebahagiaannya sudah ada disampingnya. Dia sedang makan jagung bakar juga sekarang.

Setelah menyelesaikan makan jagungnya, Jo memberikan minuman botol ke Nindy. Ia memeluknya, sampai hampir tumpah air yang ada dibotol Nindy saat ia meminumnya.

Hari sudah beranjak dingin. Tak ada selimut cahaya yang menghangatkan mereka berdua. Mereka beranjak dari duduknya dan membersihkan bekas pasir dicelana mereka.

Beranjak untuk pulang, karena hari telah petang. Jo tak ingin dimarah Bunda karena membawa pulang anaknya larut malam. Dan Jo juga tak mau jika Nindy terkena angin malam. Angin pantai tak elok jika terkena angin malam. Ia akan tergesek dan menimbulkan angin badai, dan tentu saja Jo tak menyukai angin badai.

Mereka melanjutkan perjalanan pulangnya dengan tangan Nindy yang terkait dipinggang Jo. Hangat, ujar Jo dalam hatinya.

Berharap, masih ada hari seperti ini di esok hari dan keesokan harinya lagi. Dan semoga tidak ada hari yang dulu. Sebab itu pilu.

Pelukan Nindy semakin erat saat angin malam menusuk kulit dan rambut halusnya itu. Perlahan Jo menepikan motornya. Ia melepaskan jaket yang ia kenakan dan kemudian memakaikannya ke Nindy.

"Kalo kamu sakit, saya akan susah ngerawat kamu. Tapi kalo saya yang sakit, kamu akan senantiasa ngerawat saya"

Kata-kata itu membuat pipi Nindy menghangat, ia tak lagi kedinginan.
Ia kembali memeluk Jo, sebelum Jo menjalankan motornya kembali keatas jalanan.

Jo merasa kedinginan, ia sudah menduga bahwa besok pagi, ia akan sakit. Angin malam lebih menyebalkan daripada angin badai. Keparat, umpat Jo.




Hai para pembaca, gimana cerita mereka. Saya jamin sih tambah seru bukan?.

Tetap lanjutkan membaca ya, dan jangan lupa kasih jejak. Bisa bintangnya atau pun Komentarnya.

Gracias...

Jo&NindyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang