Jooheon terlihat fokus mengerjakan soal-soal ujian di hadapannya meskipun keningnya terlihat berkerut dan sesekali memejamkan mata saat kepalanya berdenyut nyeri.
Jooheon mulai merutuki sifatnya yang kekanakan, berjalan di tengah-tengah hujan usai melihat Changkyun bersama pria lain adalah sesuatu yang Jooheon sesali.
Changkyun terlihat bahagia, bukankah itu tujuannya?
Jooheon meletakkan pena-nya saat semua soal ujian itu telah terjawab dan tanpa memeriksa lagi, Jooheon memutuskan untuk mengumpulkan ujiannya dan pulang lebih awal untuk istirahat. Untungnya hari ini adalah hari ujian terakhir sehingga lelaki Lee itu tidak perlu memusingkan masalah ujian lagi dan Mingyu dengan berbaik hati memberikan hari libur untuk Jooheon, katanya sebagai hadiah untuk merayakan selesainya ujian.
Yang ia inginkan sekarang hanyalah pulang, membersihkan diri kemudian mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal disana sini.
***
Changkyun tidak tahu apa yang kembali membawanya ke cafe yang kemarin ia kunjungi dan mendesah kecewa saat ia mengetahui bahwa Jooheon mengambil libur hari ini. Jadilah Changkyun hanya mengerucutkan bibirnya dan menghabiskan segelas minuman yang telah dipesannya dengan mood yang tidak bagus.
Entahlah, setelah melihat Jooheon kemarin, Changkyun jadi sangat merindukan lelaki itu. Apalagi setelah mendengar cerita dari ibunya beberapa waktu yang lalu.
Termasuk pengirim hadiah untuknya setiap bulannya.
Lee Jooheon lah orangnya.
Lelaki yang bahkan masih bersedia berkorban demi memberikan kebahagiaan kecil untuknya, meskipun kata 'benci' telah terucap.
Ah... Dan mood Changkyun semakin buruk saat mengingat cerita ibunya tentang filosofi bunga yang diterimanya waktu itu.
"Apa dia sama sekali tidak ada niatan untuk menemuiku lagi??" Gerutunya pelan sambil mengedarkan pandangannya dan tersenyum lebar saat sebuah ide cemerlang muncul di otaknya.
"Kita lihat apa kau masih bisa menghindar setelah ini, Lee Jooheon."
***
Disinilah Changkyun, berdiri di depan rumah yang bahkan lebih kecil dari rumah Jooheon sebelumnya. Berbekal dengan tatapan memelas, Changkyun berhasil mendapatkan alamat rumah Jooheon dari lelaki yang ia duga sebagai pemilik cafe.
Changkyun mengetuk pintu kayu itu dengan brutal, hingga beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka dan Changkyun langsung memasang senyuman termanisnya yang langsung luntur sepersekian detik berikutnya ketika mendapati wajah pucat Jooheon dan keringat yang membanjiri keningnya.
"Ya! Kau kenapa?!"
Changkyun segera mendorong tubuh Jooheon agar masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan satu dorongan kuat kemudian memaksa Jooheon untuk berbaring di atas kasurnya.
"Demam mu tinggi sekali!" Gumam Changkyun saat ia menempelkan punggung tangannya di kening dan leher Jooheon.
Tanpa babibu, Changkyun beranjak, mengambil baskom dan mengisinya dengan air dingin, lalu mengambil sebuah potongan kain yang terlihat cukup bersih baginya.
Changkyun meletakkan baskom berisi air itu di atas nakas kemudian merendam potongan kain itu dan hendak meletakkannya di atas kening Jooheon saat tangannya diggenggam oleh Jooheon.
"Kau... mau apa?" Tanya-nya dengan suara serak.
"Aku? Tentu saja mengompresmu! Badanmu panas sekali, astaga!
"Tapi-"
"Tidak ada tapi-tapian! Sekarang lepaskan tanganku dan biarkan aku mengompresmu!"
"Changkyun, dengar-"
"Apa lagi??"
"Lap yang kau pakai itu... biasa kugunakan untuk mengelap meja Kyun."
"Huh?"
***
Changkyun malu tentu saja, jadi lelaki manis itu hanya diam dengan wajah memerah, kemudian mengambil handuk bersih barulah ia mengompres Jooheon.
Jooheon tersenyum kecil mendapati pipi Chabgkyun yang memerah. Lelaki itu tahu bahwa Changkyun pasti sangat malu saat ini dan itu terlihat sangat menggemaskan bagi Jooheon. Kalau bisa, Jooheon ingin sekali mencubit kedua pipi gembil yang memerah itu dengan gemas, tapi Jooheon sama sekali tidak memiliki tenaga untuk itu.
Lagipula... Memangnya dia siapa berani melakukan hal seperti itu? Changkyun juga pasti tidak akan mengijinkan.
"Pulanglah."
"Huh?" Changkyun mengangkat wajahnya dan menatap Jooheon dengan bingung. "Aku baru saja datang dan kau sudah memgusirku?"
"Bukan begitu." Jooheon menggeleng lemah. "Kalau kau tertular bagaimana?"
"Tch! Alasan! Pokoknya aku mau disini untuk merawatmu!" Ucap Changkyun dengan nada yang kentara sekali tidak ingin dibantah dan Jooheon saat ini merasa seperti anak kecil yang dimarahi ibunya karena demam setelah menghabiskan banyak es krim padahal sudah dilarang.
"Kau belum makan kan?"
Jooheon menggeleng lemah.
"Apa di daerah sini ada swalayan? Atau semacamnya?"
"Di pertigaan depan belok kiri. Tidak jauh, ada swalayan di sisi kiri jalan. Kenapa?"
Changkyun bangkit berdiri diiringi tatapan keheranan Jooheon.
"Istirahatlah dulu. Aku ingin membeli sesuatu. Dan jangan berani-berani mencoba untuk kabur dariku!"
BLAM!
Changkyun pergi diiringi kekehan lemah dari bibir Jooheon.
Dengan kondisi lemas seperti ini, memangnya Jooheon bisa kemana? Menggerakkan ujung jarinya saja kesulitan, apalagi kabur.
"Kau masih saja tetap menggemaskan, Im Changkyun." Gumam Jooheon sebelum akhirnya memejamkan matanya yang terasa panas, menuruti perkataan Changkyun untuk beristirahat sembari menunggu lelaki manis itu kembali.
YOU ARE READING
sacrifice (Jookyun) ✔✔
Fanfiction"apa yang bisa kau banggakan dari uang yang bahkan tidak bisa membelikan baju untukku?!" "kau sungguh ingin bertemu dengan temanku? dengan penampilanmu itu?" "kau pikir aku tahan hidup susah seperti ini?!" "baiklah, pergilah jika itu membuatmu bahag...