Aku pernah melihat seseorang jatuh dari langit menuju ke samudra dalam yang tak kuketahui ujungnya.
Semua yang kulihat pada malam itu bukanlah mimpi. Aku yakin, karena aku ingat betul setiap detail dari keajaiban yang merekah bagai kembang api di musim panas. Namun sesaat kemudian keajaiban itu hilang, membawa serta semua sihir yang sebelumnya saling bersahutan.
Aku menemukan diriku berlari menuju dermaga, menjauh dari rumah yang kini sudah semakin pecah. Piring-piring berserakan di lantai, deru air keran dan pipa yang bocor memenuhi pendengaran. Bukan hanya itu, botol-botol bekas alkohol berserakan di lantai kayu yang nyaris lapuk. Ayahku berada di sana, mengamuk dalam ketidaksadaran. Berteriak lantang sembari memukuli anaknya sendiri.
Anak kecil pun tahu bahwa tempat itu tak layak disebut rumah. Dan aku sekarang, menjauhi neraka itu, meninggalkan mayat ibuku yang tergeletak di lantai dapur. Hantaman balok kayu dan botol kaca mengoyak tubuhku sampai lebam dan beberapa mengeluarkan cairan merah kental yang merembes pada baju warna putih yang kukenakan. Rasanya pedih, begitu menyayat hatiku yang semakin pecah.
Kaki telanjangku yang mungkin berdarah, telah meninggalkan aspal beserta jajaran lampu jalan yang remang-remang. Dunia pukul dua pagi lebih segar daripada yang kubayangkan. Namun sayang sekali, paru-paruku sudah diremas oleh tangisan yang semakin menjadi. Napasku sudah habis. Aku berusaha menarik napas panjang hanya untuk menangis semakin kencang. Akan tetapi, kuakui, aku tidak merasakan kondisi yang semakin membaik.
Pada akhirnya aku tak sanggup lagi bergerak dan kedua kakiku memutuskan untuk berlutut di tepi lautan. Menyerah di atas pasir putih yang tengah merana karena tak tersentuh ombak pasang. Dengan netra penuh air mata, kutatap lautan yang begitu tenang. Kudengarkan deburan ombak yang membawa serta kehidupan.
Tanganku yang tergantung lemas di samping tubuh, mulai meraba garis pantai. Mencoba menemukan kehidupan apa lagi yang mungkin kudapatkan jika aku meleburkan diri bersama samudra. Namun aku hanya berakhir meremasnya seraya menangis lebih kencang. Berteriak pada Tuhan yang entah ada atau tiada. Bertanya kenapa memberikanku kehidupan yang begitu nestapa.
Aku ingin merutuknya, memukulkan botol alkohol ke kepalanya agar dia merasakan apa yang kurasakan. Akan tetapi, aku hanya makhluk fana yang bahkan tidak punya tempat di dunia ini.
Sekali lagi kutatap lautan. Seiring berdirinya tubuhku, aku telah memutuskan.
Kugantungkan hidupku pada dermaga kayu yang menjorok ke lautan.
Dermaga itu begitu rapuh karena pukulan ombak yang terus menghantamnya setiap malam. Pergelutannya dengan cuaca juga membuat kayunya terasa lebih hangat daripada tubuhku yang menggigil. Rasanya sedikit licin, terlalu lembut untuk pijakan. Aku tak peduli larangan yang telah dipasang di pangkal dermaga ini. Tanda bahaya tidak lagi kupedulikan. Aku sudah biasa diletakkan dalam api. Kulitku tebal. Jika aku cukup beruntung, kayu yang kupijak akan patah dan tubuhku akan jatuh ke laut. Dan jika kakiku masih berpijak pada karang, aku akan mendatangi ombak terdekat untuk membunuhku.
Kukepalkan tanganku, mendekatkan diri pada ujung yang telah rusak. Kayu-kayu patah di ujung dermaga ini sempat membuatku merinding karena begitu tajam, seolah bisa membunuh dengan cara menusuk jantungku.
Dunia mendadak hening. Tidak ada suara lain. Aku tidak mendengar suara lain kecuali debaran jantungku yang sudah seirama dengan ritme ombak. Ketika aku hampir mencapai ujung, kilatan cahaya membuat langkahku terhenti. Kutatap lautan dengan lebih seksama, dan kutemukan pusaran air kecil yang gelombangnya dipantulkan oleh cahaya rembulan. Dan ketika aku melihat ke angkasa, langit terbelah.
Benar-benar terbelah. Gugusan bintang pecah dan mengkosongkan sebuah area yang secara tiba-tiba berwarna hitam. Embusan angin semakin dahsyat, seolah tersedot ke dalam lubang hitam tersebut. Air laut pun turut bergejolak dan riaknya sampai menjilat-jilat ujung dermaga, membasahi kaki telanjangku dan mendorongku menjauh dari laut sampai aku basah kuyup, terhempas, bersimpuh di atas dermaga.
Namun mataku tak bisa beralih dari angkasa. Terlebih ketika lingkaran cahaya yang begitu terang muncul dari dalam ruang hampa kemudian terhempas kembali pada portal hitam di angkasa. Jika aku tidak segera memfokuskan pandangan, aku mungkin tidak akan menyaksikan seorang malaikat jatuh ke pusaran air.
Aku tidak melihat wujudnya dengan begitu jelas. Akan tetapi, aku tahu apa yang tergantung lemas di punggungnya itu adalah sepasang sayap yang begitu lebar. Bersinar seolah mencuri pesona bulan dan jajarannya di langit. Malaikat. Benar-benar malaikat atau bisa dibilang iblis bersayap api yang dibuang dari surga kemudian jatuh ke dunia bawah dan menjadi pemimpin di sana.
Saat makhluk itu jatuh dalam pusaran air, portal hitam di angkasa tertutup. Ia menarik energi yang ada disekitarnya kemudian menghilang meninggalkan embusan angin yang begitu kuat dari daratan. Embusan angin itu seolah menuju ke pusaran air yang juga menutup dengan tiba-tiba. Saling menabrakkan energi sampai terdengar dentuman dan laut pun bergejolak dengan liar. Air menjilati bibir pantai seolah sedang berciuman dengan mesra.
Sedangkan aku, hanya bisa pasrah tatkala gelombang tinggi tersebut menghantam daratan dan berusaha menyeretku untuk mati di laut. Aku memejamkan mataku dan mengepalkan tangan, masih menahan napas, berharap keajaiban terjadi sehingga aku dapat muncul kembali di permukaan air.
Aku masih ingin hidup.
Namun naas, aku berakhir dalam pergumulan hidupku bersama kekuatan air yang meremas tubuhku, mencabik paru-paruku sampai aku kesulitan bernapas karena menghirup air laut. Aku tak lagi bisa melihat bulan jika aku menatap langit. Semuanya menjadi semakin samar dan gelap.
Tirai kehidupanku pun ditutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Talks || Hueningkai
Fanfiction"Halo selamat datang di podcast Night Talks bersama Sol Ahn dan ...." "Hueningkai!" "Malam ini kami akan menceritakan sebuah kisah ajaib." "Dengarkan baik-baik dan pejamkan matamu. Percayalah, jiwamu bagian dari para bintang." •°•°•°•°• Hueningkai x...