Chapter 17. Morning Tteokbokki

39 19 5
                                    

Harum aroma daun bawang yang digoreng memenuhi indera penciumanku. Sama halnya dengan suara menenangkan yang kini memaksa mataku untuk terbuka. Rasa pusing menyergapku dengan kasar saat aku kembali ke ruang sadar. Apa yang ada di hadapanku adalah pecahan gelas dan piring keramik pun benda lain yang berserakan. Aku dapat melihatnya dengan jelas dengan kedua bola mataku. Saat itu pula aku sadar apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Sontak aku terkejut dan menegakkan tubuh, bangun dengan napas tercekat.

"Ack!" pekikku saat suatu benda tumpul menghantam kepalaku. Langsung kupegang bagian belakang tengkorakku dan meringis kesakitan. Aku menoleh ke belakang dan ingin memaki kabinet dapur itu.

"Sudah bangun?" Seorang lelaki mengagetkanku dengan nada dinginnya. Aku langsung mendongak dan melihat seorang lelaki dengan rambut keunguan di sana. Berdiri dengan apron kelabunya.

"A-ah!" Dengan gugup aku beranjak dari lantai, menjauh darinya dengan cepat, bagai kura-kura yang masuk ke dalam tempurung, atau keong? Entahlah, yang mana saja boleh. Jantungku berdegup dengan kencang ketika kutempelkan tangan kanannku pada dada. Kuperhatikan punggung lebarnya dan mencari apapun yang bisa kujadikan sandaran.

Choi Soobin memutar tubuhnya dan menatapku datar. "Tenangkan dirimu dulu. Duduk dan minum." Dia menunjuk mug warna merah yang berada di atas meja makan. Satu-satunya mug yang utuh di antara teman-temannya yang hancur. Aku meringis melihat uap putih menyembul dari sana. "Aku jarang berbuat baik pada orang yang tidak sayang makanan dan menghancurkan dapurku. Jadi...."

Sebelum pemuda tiang bendera itu menyelesaikan kalimatnya, aku segera duduk di atas kursi. Tentu saja, setelah membersikan bantalannya dari beling-beling yang bisa saja melukai pantatku. Kusentuh mug itu dan meniup uapnya lalu menyeruput cairan kehitaman yang disajikan. Perpaduan rasa pahit dan manisnya coklat membuat diriku lebih tenang.

Soobin yang tampak puas akan hal itu menunjukkan seulas senyum. Dia menggeleng dan kembali disibukkan oleh penggorengan. Tentu saja, dia memakai teflon yang lain. Tampaknya telfon yang dia dapatkan dari rak yang menempel di langit-langit. Rak tinggi yang tak bisa kujangkau. Rak itu nyaris setara dengan kepalanya, menegaskan tubuh tinggi Choi Soobin.

Pemuda itu tidak berbicara sepatah kata pun. Kupikir aku akan diceramahi dan langsung diusir dari rumahnya. Sejujurnya, diusir itu lebih baik daripada harus bercanggung ria di ruangan yang sama dengan pemilik rumah yang sudah kuobrak-abrik tempat tinggalnya. Aku mau bergerak sedikit saja, rasanya sangat tidak enak. Jadi aku hanya mematung sambil terus menyeruput coklat hangat.

Mataku memperhatikan kondisi sekitar yang masih berantakan. Pecahan gelas dan piring masih berserakan, pun sofa kelabu tergeser dari tempatnya, bahkan terbalik. Karpet merah marun yang sebelumnya begitu bersih kini menjadi kotor, begitu pula dengan selimut tebal yang memberiku semalam sempat memberiku kehangatan. Korden yang robek dan jendela yang pecah juga masih terpampang di belakangku seolah membiarkan dinginnya udara masuk dan menusuk punggungku, menerkamku untuk ikut bersamanya. Aku bergidik ngeri dan menelan ludah. Kupejamkan mata demi menenangkan diri.

Otakku menolak untuk percaya. Namun apa yang kulihat, memaksaku untuk menelan fakta bulat-bulat.

Suara piring melanin yang diletakkan di atas meja makan membuatku tersentak, nyaris menjatuhkan mug yang kupegang. Tak bisa kupungkiri, aku bisa saja memecahkan gelas lagi karena satu hentakan. Maklum detak jantungku sedang bergemuruh.

Soobin mendengus sambil mendudukkan diri di hadapanku. Dia menyodorkan sepiring tteokbokki. Dia tak perlu menggunakan suara. Karena saat aku menatap matanya, aku langsung mengerti dan meletakkan mug untuk menyantap masakan berbau harum tersebut. Soobin mengangguk saat aku mulai memasukkan makanan ke mulutku. Setelah itu, dia juga mulai makan dengan lahap.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang