Chapter 8. A Chance

74 35 29
                                    

Park Sol Ahn adalah manusia terbodoh yang pernah kutemui. Jika dibandingkan dengan jiwa-jiwa yang kuantar ke alam baka, makhluk fana ini jelas-jelas memiliki otak di dengkul. Aku mengaku kepadanya bahwa aku malaikat. Pada awalnya dia percaya akan hal itu. Lama kelamaan, dia meremehkan ucapanku dan menganggapku iblis. Bukan iblis, lebih tepatnya kriminal halu yang pantas dipertemukan dengan hukum duniawi.

Tolong jelaskan padaku kenapa dia memanggil polisi yang kini menanyakan beberapa pertanyaan yang jelas tak bisa kujawab. Setelah menyeretku, mereka menanyakan kartu identitas. Malaikat mana punya benda itu. Maka kujawab saja bahwa aku tidak punya. Akan tetapi mereka malah menaikkan nada suara, menggebrak meja dan memeriksa tubuhku. Bukan hanya sampai di situ, Park Sol Ahn tampaknya juga menghubungi pemilik toko pakaian dan sepatu yang kaca gerainya kupecahkan shubuh tadi.

"Aku datang karena perempuan itu melaporkanmu, kupikir kau hanya orang gila yang kabur. Ternyata kau lebih dari itu," cerocos polisi wanita di depanku. Tiada hentinya dia mengolokku selama tiga puluh menit terakhir sampai telingaku ikut panas.

Aku berjuang mati-matian dengan lidah kelu dan tubuh nyeri. Sedangkan Park Sol Ahn, gadis itu tengah meminum teh hangatnya dan duduk manis di depan inspektur mesum. Mereka memberinya selimut dan seperangkat sarapan pagi. Betapa menjijikkan para manusia ini.

Sol Ahn menatap kosong cangkir tehnya, membelakangiku yang lelah meronta dari jeratan borgol. Perempuan berpenampilan kacau itu memang tampak lelah, tapi siapa peduli.

"Sumpah, aku tidak berbuat apa pun," bantahku.

"Gadis itu mengatakan kau membuntutinya pagi ini," sahut seorang polisi di hadapanku.

Kutolehkan kepala, melihat punggung Sol Ahn yang mengenakan hoodie kelabu. "Hei, Park Sol Ahn!" panggilku dengan kasar. Pundak gadis itu tampak terguncang atas suaraku. "Bukannya kau juga kriminal? Kau memakai hoodie yang kucuri dari toko itu, kan?"

Akhirnya perempuan itu menoleh dan menatapku seolah memicing pada serangga bermulut besar. Dia meletakkan cangkir tehnya dan berjalan ke arahku. Kupikir dia akan menjawab dengan kalimat pedas yang biasa dilontarkan manusia. Namun di luar dugaan, dia malah melepas hoodie-nya. Sol Ahn melemparkan selembar pakaian itu ke mukaku, ke muka tampanku.

"Jangan bicara seolah kita saling mengenal." Tangannya bersedekap seperti penjahat wanita, lengkap dengan tatapan arogan penuh kemarahan.

Setelah adegan ciamik khas manusia yang disaksikan seisi ruangan, Park Sol Ahn melangkahkan kaki ke pintu keluar dengan tegas.

"Aish...." Aku ingin menahan kemarahanku, tapi tidak bisa. "Kau pikir siapa yang menyelamatkan hidupmu, ha? Jika aku tak memberikanmu napas buatan, kau sudah jelas mati tenggelam!" Kuhentak-hentakkan kakiku.

Sol Ahn berhenti melangkah. "Siapa yang mengambil kesempatan setelahnya? Kau menyentuh tubuhku tanpa izin, memelukku, dan itu semua membuat dadaku sesak!" Tangannya membuat gestur berguncang-guncang, betapa stresnya gadis ini. Dia sampai mengacak kembali rambut yang terlihat bagai kepala singa.

"Hei, aku sudah melepaskanmu setelahnya. Tapi kau malah...." Kuhentikan kalimatku untuk melihat sekitar. "Ya, kalian semua tahu, siapa yang menindihku dan--"

"Permisi...." Suara lain menginterupsi seisi ruangan, membuat semua orang menoleh ke arah pintu.

Di belakang Sol Ahn, orang itu tersenyum. Dia memakai kemeja berwarna pink dan celana jeans biru cerah.

"Argh!" teriakku sambil berlari ke arah pemuda itu. Kuhantamkan kedua tanganku yang terikat ke mukanya. Namun, tentu saja dia dapat menahan pukulan sekuat tenaga hanya dengan satu lengan.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang