Chapter 14. Dark Blue Storm

51 25 10
                                    

"Sampai di mana obrolan kita tadi?" Suara berat Choi Soobin menyambutku tepat setelah langkahku sampai di lantai dua, setelah menginjak tangga kayu melayang. Dia bersandar di dekat jendela berornamen kotak-kotak dan langsung menusukkan tatapannya padaku. "Kau berniat menjadikan manusia itu umpan? Bagaimana? Dia manusia, Kai."

Kutelan ludahku. "Iya, memang. Lantas kenapa?"

Ekspresi kaget ditunjukkan oleh malaikat perang di hadapanku. Barang satu detik, raut muka itu seolah menambah rasa waswasnya. "Aku tidak percaya kau akan mengatakan itu. Maksudku, kenapa Park Sol Ahn?"

"Coba kau pikirkan. Apakah kebetulan di dunia ini?" Mendengar pertanyaanku, Soobin terdiam agak lama. Tangan kanannya menopang dagu seolah benar-benar berpikir. "Ayolah, tunjukkan padaku apa yang bisa dilakukan mantan pengawas."

"Tunggu," tukas Soobin.

"Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini begitu pula pertemuanku dengan Park Sol Ahn. Coba pikir, berapa kali kebetulan terjadi dalam satu hari," tantangku. "Dia melihatku jatuh dari angkasa, melihatku dilahap oleh ombak samudra. Setelah berpisah sesaat, aku bertemu dengannya lagi di gang itu. Kemudian, kita berpisah lagi di kantor polisi, bertemu di kafe. Yang terakhir, beberapa jam yang lalu, kita bertemu lagi. Entah dia datang padaku atau takdir yang tengah bermain dengannya." Kunaikkan alisku untuk meyakinkan Soobin. Kini malaikat itu mengangguk pelan.

"Aku paham maksudmu. Aku paham. Tapi bagaimana jika kau salah? Mungkin saja nasib lain yang membawanya padamu?"

"Sungguh?" Kunaikkan daguku. "Kau tak seperti dirimu."

Malaikat itu mengerjap dan menghentakkan satu kakinya. "Seharusnya aku yang tanya begitu, Kai. Kau ini sudah terkontaminasi neraka atau bagaimana?" Seperti ditonjok, diriku terguncang atas ucapan Soobin. "Kau tahu sendiri apa yang terjadi jika kita menggunakan manusia yang tidak ada urusannya dengan masalah langit dan dunia bawah? Bisa-bisa aku ikut dibuang karena kau."

"Kau takut?" tanpa sadar aku menaikkan nada suaraku. Di saat yang bersamaan, petir menyambar dengan keras, menerbangkan partikel-partikel langit ke bumi. Cahaya yang begitu terang dan suara yang sangat keras membuat aku dan Soobin terdiam. Mendengarkan keheningan yang diantar setelahnya.

"Apa kau bilang?" Suara Soobin yang dingin kembali terdengar. Malaikat dengan selera humor aneh itu mulai mengeluarkan pedang cahanya dari telapak tangannya. Dia mengumpulkan sebagian energi cahaya dari tubuhnya dan memadatkannya menjadi satu bilah pedang yang nyata. Salah satu dari ribuan senjata yang dia miliki. Berbeda dengan sebelumnya yang hanya berupa pecahan kaca, pedang ini benar-benar memiliki rupa. "Sejujurnya aku dikirim ke bumi untuk menghabisimu jika kau tidak mati. Beruntung hanya sayapmu yang terbakar." Dia melangkah mendekat.

Jika bisa, aku akan menarik kata-kataku sebelumnya karena dapat kulihat dari tatapan matanya, malaikat ini tidak bercanda. Dia menaikkan ujung pedangnya dan bersiap untuk menebasku kapan pun dia merasa itulah saat yang tepat. Kilatan cahaya yang masuk melalui jendela di belakang Soobin, membuatakan mataku sejenak. Aku merasa saat itu pula Soobin mengayunkan pedangnya. Alih-alih menusukku, Soobin menoleh ke arah jendela dengan wajah panik. Sesaat kemudian, dia kembali menatapku.

"Kai, dia di sini."

Tak ada waktu bagiku untuk bertanya. Soobin menyerahkan pedang digenggamannya padaku.

"Akan kujaga, Park Sol Ahn. Kau kejar dia. Aku tidak bisa menyerang makhluk lain tanpa izin-Nya." Dia memejamkan matanya dengan amat dalam, menggigit bibirnya sebentar kemudian berkata. "Aku tidak mau melakukan ini, tapi bawa berkatku bersamamu."

Mendengar ucapan Soobin, aku mengangguk paham dan segera beranjak. Teriakan menggema dari lantai dasar, membuatku berhenti dan menatap Soobin yang tampak sangat khawatir. Buru-buru, aku melanjutkan langkah dengan pendengaran tuli. Entah mengapa gemuruh badai terdengar begitu keras.

Di lantai dasar, aku sempat melirik ke arah sofa. Mataku tidak menemukan keberadaan Sol Ahn kecuali selimut yang tergeletak di lantai dan pecahan kaca dari jendela di belakang sofa. Dapur Soobin sudah tampak seperti kapal pecah, tanda perlawanan seseorang. Aku hendak memeriksa sejenak, tetapi waktu memaksaku untuk berlari.

"Ah, Choi Soobin, aku percaya padamu," gumamku pasrah kemudian membuka pintu dan berlari di bawah deru badai.

Derasnya air yang jatuh membuat pandangan semakin sempit. Kabut tebal juga menghalangi. Lautan pun terasa dekat karena sedang pasang. Di sisi lain, kusipitkan mataku untuk mencari sosok yang dimaksud Soobin. Akan tetapi, aku tak menemukan apapun karena badai ini seolah menumpulkan inderaku. Atau memang aku yang melemah tanpa sepasang sayap di punggungku. Aku tidak tahu. Akan tetapi masa bodoh dengan semua itu. Aku memacu langkah, mengikuti sisa-sisa insting malaikat yang kumiliki.

Syukur saja, instingku masih begitu kuat karena aku menemukan seseorang tengah berlari menggunakan jas hujan berwarna biru tua. Di bawah hujaman air dan gelapnya malam, jas hujan itu berkilauan disorot cahaya lampu. Aku berniat untuk mengejarnya, hanya untuk memastikan siapa dia. Apakah dia manusia biasa atau kah malaikat, atau bahkan iblis?

Kupegang kuat-kuat pedang pemberian Soobin sembari berlari. Genangan air yang terinjak, semakin memberatkan langkah. Namun anehnya pemuda yang tengah kukejar malah berlari lebih kencang karenanya. Sekitar sepuluh menit kami berkejaran, tubuhku semakin melemah. Aku bahkan sempat berhenti beberapa kali hanya untuk memegangi lulutku yang mulai lelah. Sedangkan sosok itu masih berlari.

Akan tetapi jangan remehkan mantan letnan muda malaikat perang.

Choi Soobin berkata bahwa aku berhenti mendengarkan setelah komandan mengucap salam adalah bentuk sarkas yang memiliki arti berlawanan. Tanpa sayap pun, aku merasa bisa menangkap sosok yang kini berlari seolah mengejekku tersebut. Kuhentakkan kakiku keras-keras ketika langkahku berpacu bersama waktu. Aku melompat-lompat di dinding gang sempit yang kini sedang kulewati. Berpacu bersama waktu dan mengeluarkan tenaga lebih banyak bukanlah hal yang susah. Berbeda dengan Choi Soobin yang memburuku pagi tadi, sosok ini hanya mengecohku. Aku tidak merasakan energi apapun di sekitarnya. Kemungkinan besar, orang ini adalah manusia biasa.

Namun mengapa Soobin menyuruhku untuk mengejarnya?

Satu langkah pasti kuambil. Pijakan mantap pada tiang listrik untuk melontarkan tubuhku menuju Si Jas Hujan Biru Tua. Kurang dari satu detik, aku dapat memastikan, sepatuku bisa mengenai wajahnya dan aku bisa langsung menebaskan pedang cahaya yang kubawa.

Akan tetapi, dua detik kemudian, aku mempertanyakan keberadaanku di sini. Tepat ketika sosok itu berhenti dan menoleh ke arahku.

Apa itu? batinku bertanya saat aku melihat seringai tajam di balik tudung. Hendak mencari tumpuan yang lain untuk ikut berhenti, sosok ini berputar pada kaki kirinya dan langsung menghantamku dengan kaki kanan. Aksi itu membuatku terlontar dan menabrak dinding bata merah yang dipenuhi graffiti. Aku mengerang sejenak, mencoba berdiri dan menunjukkan eksistensiku sebagai malaikat.

Pemuda ini menendangku sekali lagi dengan sepatu Converse warna kuning dengan keras. Sumpah, pada saat ini aku tidak tahu makhluk apa yang ada di depanku. Dia berwujud manusia, memiliki aura netral seperti manusia. Akan tetapi tenaga yang dia keluarkan untuk membuat serpihan cahaya keluar dari tubuhku, tidak bisa disamakan dengan manusia. Makhluk fana itu tidak mungkin sekuat ini.

Lelaki berjas hujan ini menghajarku habis-habisan seolah melampiaskan semua rasa kesalnya padaku. Dia menendang perutku, dadaku, pundakku, dan yang terakhir wajahku. Hantaman terakhir itu membuatku tumbang dan melepaskan pedang Soobin. Berbaring di atas genangan kumuh di bumi bukanlah kodrat malaikat. Akan tetapi, sejak kemarin dunia terasa dijungkirbalikkan di depan mataku.

"Hei, tenggelamlah ke lautan. Bumi bukan tempatmu. Berjumpalah dengan kawan lamamu di dunia bawah."

Kalimat yang diucapkan dengan nada suram itu membuatku bergidik ngeri. Dengan lemas, aku meliriknya. Siluet tajam yang tercipta karena sorot lampu, membuat wajahnya begitu gelap. Kemudian petir menyambar dengan indah di bawah awan, mengantarkan kilatan cahaya yang lebih terang. Saat itu juga, aku terperanjat. Duri-duri tajam seolah menusuk kerongkonganku.

Iblis.

Dengan mata heterochrome yang menyala itu, mencuri seluruh atensiku. Bibirnya tersungging tatkala tangannya terayun dan membuat hujan ini seolah merajam tubuhku. Ketika pigmen-pigmen cahaya mulai memudar, aku tak lagi merasakan sakit di setiap sobekan cahaya di tubuhku. Pening di kepala juga mulai menghilang. Sebelum kesadaranku lenyap, samar-samar kulihat kilat cahaya muncul, menjatuhkan kepingan cahaya keemasan yang membuka satu kartu misteri yang selama ini mengusikku.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang