Chapter 3. The Color of Dawn

193 64 15
                                    

"Hueningkai, namaku Hueningkai," ucap pemuda berambut coklat gelap itu sambil membingkai wajahku dalam netranya. Tentu saja, setelah aku mempermalukan diriku dengan pertanyaan tentang surga dan neraka. Mengingatnya kembali sudah membuatku malu setengah mati. Aku menutupi wajahku dengan rambut supaya dia tidak mengetahui warna merah yang kini tengah bersemi.

"A-aku Sol Ahn, Park Sol Ahn." Aku membalasnya dengan gugup, berharap dia mengatakan hal lain kecuali namanya. Aku sudah mendengar dia memperkenalkan diri empat kali sejak lima menit lalu. Setelah itu, rasa canggung mencekam kami berdua.

Aku berusaha berjalan lebih cepat dan mendahuluinya karena aku enggan beriringan dengan seorang lelaki berpakaian serba putih bak anggota kultus yang selesai berbuat ricuh. Tawuran mungkin, karena bajunya koyak di sana-sini. Bukan hanya itu, dia juga mirip dengan orang gila yang biasa muncul di manhwa bertema reinkarnasi. Kenapa demikian? Karena ketampanannya seperti fantasi yang memabukkan ditambah dengan pakaian compang-camping. Pantas sekali.

Bisa kukatakan pula dia seperti anjing yang mengikuti tuannya, karena setiap kali aku berjalan mendahuluinya, dia kembali berada di sampingku. Seakan mengejarku. Aku mulai sebal jadi aku berhenti dan menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Meredam rasa maluku pada kepalan tangan, menyisakan rasa risih yang kuluapkan dengan jelas dari sorot mataku.

"Dengar ya, aku tahu kau telah menyelamatkan hidupku, tetapi itu bukan alasan bagimu untuk terus mengikutiku." Ekor imajinernya bergoyang-goyang ketika dia mendengarkanku. Matanya semakin membulat dan merefleksikan mukaku di bawah lampu jalan. Kulambaikan tanganku seraya berpaling. "Enyahlah, aku harus pulang."

Kemudian aku berjalan dan terus berjalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Menyusuri jalan pantai di pagi buta dan menyaksikan langit yang perlahan menjadi keunguan kemudian pecah tatkala mentari mulai terbit membawa sinar oranye yang segar. Setelah begitu lama berjalan, pada akhirnya aku menoleh ke belakang.

Hueningkai tidak ada di sana.

Rasa lega memuaskan dahagaku barang sesaat. Aku sempat mengembuskan napas lega karena tidak lagi diikuti orang asing. Sangat lega, terutama ketika otakku terus-terus mengutarakan bahwa dia adalah malaikat yang jatuh dari langit yang nyata. Namun sisi logis yang kumiliki menyuarakan bahwa keajaiban yang kulihat adalah bagian dari penglihatan kematian. Maksudku, aku hampir mati saat itu, aku terseret gelombang pasang dan tenggelam di lautan. Kesampingkan alasan Hueningkai bisa berada di dermaga tua, aku tidak ingin mengetahuinya. Aku tidak ingin duniaku hancur karena memikirkan apa yang bukan urusanku.

Namun aku sadar, duniaku sudah hancur.

Air mataku jatuh sekali lagi, membuat tubuhku mendadak lemas. Aku berjongkok di pinggir jalan, pada trotoar sepi yang disinari lampu remang-remang di kompleks pertokoan. Dadaku terasa sesak dan aku tak lagi ingin berjalan ke rumah. Napasku tersengal, terpotong-potong seperti hatiku yang pecah berkeping-keping.

"Oh, Tuhan. Katakan padaku aku harus berbuat apa?" keluhku seraya menutup muka. "Aku ingin bersembunyi, jika tidak bisa, biarkan aku mati. Jangan kirimkan malaikat untuk menghidupkanku lagi."

Bagai petir yang menyambar, tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca yang amat dahsyat. Refleks, aku menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pemuda tengah menelanjangi salah satu manekin. Tangannya dengan lemah lembut memunguti kain mahal yang telah dia lemparkan ke trotoar.

Bukan, dia bukan malaikat. Dia adalah iblis. Aku membatin dalam diam, menutup mulutku dengan buku-buku jemari yang memucat. Kriminal adalah trait baru yang kuberikan pada Hueningkai. Mengesampingkan semua kesempurnaan fisiknya, aku tak bisa melihat adanya akhlak yang baik di dalam dirinya. Benar juga, Tuhan menganugerahkan iblis segala-galanya, kecuali akhlak yang baik. Mataku membuktikan ungkapan itu.

Tidak ingin terjerat masalah lagi, aku memutuskan untuk berlari. Terutama ketika pemuda itu mulai melepas pakaian lusuhnya. Aku tak sanggup berbagi udara dengan satu calon napi lagi. Tidak.

Aku mencoba berdiri. Mengawalinya dengan berjongkok perlahan dan ketika kurasa seluruh tubuhku sudah siap untuk menembus kecepatan angin, kulangkahkan kakiku selebar mungkin. Tak kuhitung seberapa cepat tubuhku bergerak, aku tidak memerlukan itu karena fokusku saat ini hanya pada tempat yang kutuju. Ke manakah aku akan berhenti melangkah?

Lampu jalanan yang menyoroti panggung sandiwara kulewati dengan cepat, layaknya lampu flash di atas panggung hiburan yang menuntut pengakuan. Aku meninggalkan jejak mentari di belakangku, menuju bagian tergelap dunia. Namun aku masih tak sanggup. Aku masih tidak mau menerima semua nestapa yang menghantamku.

Aku hanyalah manusia lemah yang pada akhirnya berhenti di tengah jalan. Aku tidak menyerah pada takdir, tidak pula berusaha untuk melawannya.

Aku terdiam beberapa saat, kembali menoleh ke belakang, mencari seseorang yang bahkan tidak aku ketahui asalnya. Di saat harapanku nyaris sirna, dia muncul, turut membelakangi matahari yang semakin meninggi.

Hueningkai berlari dengan jaket kuning dan ripped jeans curian. Tanpa melupakan sepatu Vans yang pasti diambilnya di toko sepatu sebelah toko baju. Dia tampak membawa selembar kain lain di tangannya. Melihat aku berdiri menatapnya, dia memelankan ritme langkahnya, berusaha mendekatiku dengan perlahan. Sampai pada akhirnya dia benar-benar berhenti dan menyodorkan selembar hoodie kelabu padaku.

Tanpa sepatah kata yang terucap, kami saling menatap sampai lampu jalanan dimatikan. Menyisakan matahari sebagai satu-satunya penerang layaknya warna kuning di dunia yang kelabu. Namun anehnya, aku menerima warna kelabu itu.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang