- Behind Cut (5)

116 50 20
                                    

"Punggungnya yang tegap membawa bayangan yang amat gelap, seolah menantang mentari di hadapannya." Aku menutup mataku dan mengembuskan napas lega. "Masih terlalu jauh untuk lega, Sol Ahn." Kuusap dadaku sendiri untuk menenangkan diri. Kulihat ke luar jendela, pada kegelapan malam yang menakutkan. Pohon-pohon yang tinggi memisahkan rumah ini dengan tanah perkuburan di seberang jalan.

"Kau ingin aku menutup jendelanya?" tawar Hueningkai. Jemarinya menunjuk jendela yang terbuka di hadapan kami.

"Lakukan saja, asal jangan kau lepas jemarimu." Kuangkat tangan kanan Hueningkai yang masih mencengkram tangan kiriku. Bibirku mungkin tersenyum nakal, tetapi aku benar-benar tidak ingin lelaki ini melepaskanku lagi. Aku tidak ingin Hueningkai meninggalkanku lagi.

"Anda posesif sekali ya?" Hueningkai membalas senyumanku dengan tatapan matanya yang membulat. Bukannya menghiraukan ucapanku sebelumnya atau memilih duduk diam, membiarkan jendela terbuka. Hueningkai malah langsung berdiri dan merentangkan tangan kirinya yang panjang untuk meraih kusen jendela.

Meja yang begitu lebar, memisahkannya dengan jendela geser berkusen putih. Dia menjorokkan badannya dan meraih pegangan jendela tersebut dengan ujung jari tengah. Hueningkai menggigit bibir bawahnya, memperlihatkan bahwa dia sedang berusaha. Dan ketika telunjuknya turut membantu untuk menggeser kaca bening tersebut, senyumnya merekah, terlebih ketika dia berhasil menutup jendela tersebut. Hueningkai langsung menjatuhkan berat tubuhnya di atas sofa sembari mengembuskan napas lega.

"Sudah kututup, Tuan Putri," tukas Hueningkai, menatapku dari balik helaian gelap rambutnya. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Sol Ahn. Kalaupun aku pergi, aku pasti akan kembali padamu di kemudian hari."

Kujawab Hueningkai dengan anggukan kepala.

"Kau yang paling tahu, kan?"

"Aku tahu, Kai. Seperti waktu itu." Kutatap pemuda di sampingku ini lekat-lekat, membuat jantungku berdetak tanpa irama dengan indahnya. Terutama ketika Hueningkai membalas tatapanku dengan senyum mautnya.

"Ya, seperti kala itu." Suaranya menguar bagai aroma kue yang baru saja diangkat dari oven. Rasanya manis, menenangkan, dan begitu hangat. Layak disajikan dengan secangkir teh untuk kudapan saat sore hari. Penggambaran itu membuatku ingin melumat bibirnya, tetapi aku sadar diri, aku hanyalah manusia rusak yang tak pantas disandingkan dengan malaikat seindah dirinya. "Perempuan bernama Sol Ahn itu menatapku dengan penuh tanya ketika aku tiba-tiba berbalik arah, meninggalkannya dengan sebuah peringatan." Suaranya kembali lagi, dan sumpah, pemuda ini membuatku lapar hanya dengan mendengarkan suaranya.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang