Chapter 5. Stargazing

134 50 13
                                    

Tingkahnya sangat menggemaskan untuk pemuda dengan tinggi sekitar 180cm, tetapi setelah pergulatan batin yang singkat, aku memutuskan untuk membawa pemuda ini ke kantor polisi yang berada di ujung jalan. Aku tidak yakin apakah kantor polisi buka di hari minggu. Aku bahkan tidak pernah ke sana. Akan tetapi ada kondisi yang membuatku harus mengunjungi tempat yang kuanggap cukup menyebalkan itu.

Setelah memakai hoodie yang diberikan Hueningkai, aku mulai berjalan menyusuri jalanan yang masih sepi. Menemani mentari yang perlahan memuncak, aku menapakkan kaki telanjangku dan menguatkan tekad untuk melaporkan kejahatan yang sebenarnya masih membuatku gemetar. Aku menoleh ke belakang sesaat untuk memastikan orang asing itu masih berniat mengikutiku. Namun dia malah melihat ke ujung jalan, pada kantor polisi yang tembok keramiknya mulai bercahaya terkena lampu teras yang masih menyala. Pohon palm yang ditanam sepanjang jalan menerima sinar pagi mencakari langit pekat yang perlahan memudar.

Pemandangan yang indah. Apakah lelaki blasteran ini juga terkesima akan ciptaan Tuhan yang begitu memanjakan mata?

"Halo, permisi?" kataku dengan sesopan mungkin. Karena lelaki itu hanya terdiam, aku mengulang ucapanku. "Permisi!"

"Ah, iya?" Hueningkai tampak kaget mendengar suara melengkingku di pagi yang damai. Ekspresinya terlihat kalut, seolah baru menyadari bahwa dia berbuat kriminal. Keringat dingin tampak berbaris di keningnya, sedangkan matanya yang menatapku seolah membayangkan hal lain.

"Aku akan pulang. Kau mau mengikuti aku atau...."

"Aku ikut kau!" Dia menjawab dengan cepat. "Di mana? Di mana rumahmu?" Pertanyaan yang dilontarkannya juga bersalipan dengan detik waktu. Bibirnya tersenyum-senyum gugup dan netranya mondar-mandir di dalam rongga mata. Aku juga tak bisa melupakan bulu mata lentiknya yang mengiringi kelopak membuka dan menutup. Lelaki ini terlalu tampan bagiku.

"Tidak jauh dari sini, tapi kita akan mampir ke kantor polisi." Aku mulai berjalan, kemudian Hueningkai mensejajarkan langkahnya denganku.

"Oke."

Kaki telanjang kami menapak pada aspal dalam keheningan yang teramat canggung. Hueningkai berjalan lebih ke tengah, menjaga jarak dariku. Bukannya aku tidak nyaman dengan situasi saat ini, tetapi bukankah situasi seperti ini biasa terjadi ketika sepasang kekasih bertengkar? Tidak, aku tidak berharap menjadi kekasih dari pemuda ini. Sekali tidak. Hanya berjalan di dekatnya saja memberiku firasat bahwa aku akan terlibat pergulatan nasib yang teramat rumit. Kejahatannya mencuri pakaian shubuh ini membentuk stereotip di otakku, tertulis dengan tegas dan berwarna merah.

Kriminal.

Dia bahkan tidak peduli dengan CCTV yang dipasang di depan toko yang dibobolnya dan dengan enteng bertelanjang di sana. Aku menepuk jidatku dengan keras. Bunyi yang nyaring pun bukan masalah lagi jika menyangkut kasus yang disebabkan para pelanggar hukum. Maka dari itu, langkahku saat ini bertujuan untuk melaporkan orang asing di sampingku.

"Sol Ahn."

"Ha? Iya apa?" Aku menjawab dengan gugup.

"Namamu Park Sol Ahn, kan?" tanya Hueningkai dengan datar.

Aku menggaruk leherku dan mengiyakan.

"Semalam apa yang kau lakukan di sana?" Dia menatapku, menuntut penjelasan dariku. Namun aku yang bergeming, menuntunnya untuk kembali membuka suara. "Di dermaga itu, apa yang kau lakukan, Park Sol Ahn?"

"Bukan urusanmu," jawabku ketus seraya mengibaskan rambut panjangku yang mulai mengering.

Hueningkai tampak mangut-mangut, puas akan jawabanku. Baguslah, dia paham batas privasi, jadi aku tidak perlu repot-repot berkelit dan mengarang alasan memandangi bintang lagi.

"Apapun masalahmu, kuharap kau cukup kuat untuk mengatasinya seorang diri. Jangan berkata kau tengah melihat bintang ketika kau sebenarnya berdoa ingin mati."

Sorot mataku begitu tajam padanya ketika langkah kakiku berhenti tiba-tiba.

"Apa yang kau lakukan di sana, Park Sol Ahn?" Hueningkai mengulangi pertanyaannya dengan lebih tegas, lebih dingin, sekaligus lebih perlahan. Dia menoleh padaku yang tertinggal dengan kaki yang mulai gemetar. Langkahnya yang lebar mulai menghampiriku, layaknya utusan tuhan yang ditugasnya menanyai arwah di dalam kubur.

Bibirku bergetar, pikiranku kalut, dan suara barang pecah belah mulai memenuhi otakku. Tanpa kusadari aku mulai berteriak dengan lirih dan semakin melengking. Kedua tanganku memegangi telinga yang terasa pekak. Bising mengelilingiku dengan teriakan kemarahan dan tantrum.

"Sol Ahn." Tiba-tiba suara lembut itu datang, menjadikan semesta tempat yang hening. Aku membuka mata dan menatap sekitar, tetapi kedua bola mataku tak bisa lepas dari wajah yang kini memenuhi pandanganku. Rahang tegas, bibir tipis, dan hidung yang mancung adalah syarat utama untuk menjadi lelaki yang tampan menurut Park Sol Ahn. Akan tetapi, lelaki yang ada di hadapanku memiliki aura yang berbeda.

Alisnya terukir tajam di bawah kening yang lebar. Rambutnya bergelombang acak-acakan, setengah kering. Selain luka yang menggores tulang hidungnya, perhatianku terkuras pada netra kecoklatan yang teduh. Terlihat begitu murni dan suci, seperti bayi yang baru terlahir. Di sisi lain, tatapannya sangat menusuk dengan emosi yang hendak dia sampaikan. Sisi dewasanya membuatku meleleh dan ingin langsung memeluknya.

Bibirnya mulai terbuka, hendak mengatakan sesuatu yang romantis layaknya pemeran utama pria di drama. Kemudian, suara lembutnya pun bergema. "Manusia diberi akal dan pikiran. Namun aku tak mengira mereka akan sebodoh ini. Jika kau mau berbohong akan masalahmu, kau bisa mengawalinya dengan menutupi lengan dan kakimu."

Kata-katanya menusuk bagai pedang ke dalam relung hatiku yang sudah kukuh mengharapkan adanya kembang gula di kehidupanku.

"A-apa?" Aku menuntut penjelasan ketika Hueningkai menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Akan tetapi, pemuda itu malah menggeleng. "Kau bisa melaporkanku ke kantor polisi."

"Jadi, jadi kau sudah tahu?" Aku bertanya dalam kegugupan yang entah keberapa kalinya.

Hueningkai terkekeh, menoleh ke belakang untuk beberapa saat. "Malaikat tidak sepolos yang kau kira, Park Sol Ahn." Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, lalu berbisik, "Beberapa di antara mereka ada yang ditugaskan untuk membunuhmu."

Aku terguncang untuk beberapa saat dan menatapnya. Berlawanan denganku, Hueningkai tersenyum teduh.

"Kau harus berhati-hati." Tanpa menghiraukan tanda tanya di benakku, Hueningkai berjalan melewatiku, membelakangi kantor polisi yang seharusnya kami tuju. Punggungnya yang tegap membawa bayangan yang amat gelap, seolah menantang mentari di hadapannya.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang