- Behind Cut (2)

230 78 9
                                    

"Saat itu juga aku sadar bahwa kami sama-sama tidak punya tempat di dunia masing-masing." Suara Hueningkai mengeluarkan nada sendu yang kini mempengaruhi suhu ruangan menjadi lebih dingin. Dia menutup matanya lagi setelah meletakkan sejumlah kertas. "Ah, aku tidak percaya akan menceritakan kisah ini," ungkapnya.

Mata kecoklatannya menatap gemerlap lampu tumblr warna ungu yang menyala di atas jendela, menghiasi tembok kosong di belakangnya layaknya bintang.

"Masih terasa sangat nyata. Maksudku, deburan ombak itu." Dia meremas-remas udara layaknya usaha membunuh ombak. Lelaki itu mengambil napas dalam dan menatapku. Raut mukanya yang tenang tiba-tiba berubah. "Pfft!"

"Ha? Apa?" Aku bertanya padanya.

Hueningkai tidak menjawab pertanyaanku, tetapi malah membebaskan tawanya yang menggelegar. Suara yang melengking langsung menuju telingaku dan menimbulkan kejutan ke sekujur tubuhku. Sontak, kulepas headphone yang kukenalan dan langsung membantingnya di meja.

"Maaf, maaf." Dia menutupi mulutnya dengan tangan untuk meredam tawanya yang meledak. Lambat lain suara yang membuatnya tampak berkomunikasi dengan lumba-lumba itu mulai menghilang digantikan dengan tarikan napas. "Aku hanya tidak tahan dengan raut wajahmu. Kau tadi melakukannya seperti ini."

Hueningkai menyatukan dua ujung alisnya ke atas, membuat beberapa kerutan tampak di dahinya. Sorot matanya langsung berubah penuh dengan rasa iba pada malaikat yang dibuang oleh angkasa. Tak lupa bibir tipisnya yang terkatup rapat membentuk tanda kurung horizontal ke bawah. Ekspresinya sangat menyedihkan sampai aku ingin menangis melihatnya. Menangis karena kasian dan terpesona beda tipis, seorang Sol Ahn tak akan bisa membedakannya saat ini. Akan tetapi afeksi yang kini ada pada diriku, berubah seketika saat lelaki itu memanyunkan bibirnya.

Aku tahu persis apa yang harus kulakukan. Antara menatapnya dengan sinis atau menghancurkan wajah tampannya. Hanya dua itu. Maka kurapatkan rahangku seiring bersiapnya tanganku untuk memcakarnya.

"Hish!" sergahku. Sebelum melayangkan serangan pada muka yang begitu sempurnya.

Namun Hueningkai malah tertawa, membiarkan gelak itu kembali menguasai ruangan dan menggetarkan gelas minum yang kuletakkan di sebelahnya.

"Apa-apaan sih?" ungkapku dengan kesal. "Jika kau bersikap seperti itu lagi, aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan bagian terakhirnya!"

"Iya-iya." Dia mengatakannya sembari menahan tawa.

"Berhenti dulu," kataku ketika mengambil kembali headphone yang sempat kubanting. "Jangan tertawa." Kuulurkan tanganku untuk menekan tombol record, tetapi perjalananku terhenti di tengah. "Kita tadi belum menekan tombol pause?"

"Oh iya? Aku mungkin lupa," jawab Hueningkai setelahnya.

"Kalau begitu nanti tinggal dipotong saja," timpalku.

"Boleh. Jangan dihentikan rekamannya sampai kita selesai bercerita."

"Okay."

Aku menarik napas panjang dan dalam kemudian mengembuskannya sebelum mulai membacakan kisah yang bukan hanya sekedar pertemuan. "'Hueningkai, namaku Hueningkai,' ucap pemuda berambut coklat gelap itu sambil membingkai wajahku dalam netranya."

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang