Chapter 4. Confession

167 63 33
                                    

Perempuan itu bagaikan permata rusak yang kutemukan di dasar laut. Wajahnya bulat dan begitu polos, seperti cahaya terik berwarna putih. Matanya sembab seperti habis menangis. Bibirnya yang biru, perlahan mulai diisi oleh warna merah muda. Dia tidak begitu cantik, tetapi kulitnya bersih. Andai lebam-lebam itu tiada, aku akan memujinya sekali lagi karena menyamai fisik malaikat.

"Apakah aku sudah mati?" tanyanya segera setelah bangun. Kemudian dia mengedarkan pandang ke sekitar, pada lautan dan langit yang saling berhadapan. "Apakah neraka seindah ini?" Dia menatapku lagi, kali ini dengan dahi mengernyit. "Tuan malaikat, tolong jawab aku."

Aku hendak mengacuhkannya dan langsung pergi. Namun entah kenapa aku tidak tega melihat dua kelereng itu menanti jawaban dengan penuh harap. "Kau bertanya pada orang yang tepat. Aku Hueningkai." Kuulurkan tanganku pada perempuan basah kuyup ini.

Dia menerimanya dan bangkit, berdiri dengan lutut yang masih bergetar.

"Aku Park Sol Ahn." Dia memperkenalkan dirinya. "Apakah aku masuk surga atau neraka?"

Pertanyaan gadis ini membuatku berkedip beberapa kali. "Aku tidak bisa memastikan."

"Halah. Jadi kau ini malaikat atau bukan? Jangan-jangan kau iblis yang menyamar? Oh! Jadi aku di neraka." Sol Ahn mengambil kesimpulan sendiri. Dia memutar tubuh, membuat gaun tidur dan rambut panjangnya berayun dan mencipratkan air. "Memang, ya. Orang bunuh diri itu ditakdirkan masuk neraka. Hehe. Jadi kita akan ke mana, Tuan Iblis?"

Aku mematung hanya dengan mendengar panggilan baru yang ditujukan padaku. Begini, aku sering mengantar jiwa manusia ke gerbang neraka. Tolong garis bawahi, hanya sampai gerbang. Aku tidak pernah bertemu iblis yang kata Soobin sangat kejam itu. Jadi mana mungkin mukaku yang tampan ini tertular aura iblis-iblis jahanam itu. "Aku merasa harus meluruskan sesuatu," ucapku.

"Apa? Kau mau klarifikasi soal fantasi tentang fallen angel yang kulihat saat aku sekarat?" Sol Ahn mengatakannya dengan enteng. Seolah peristiwa dibuangnya malaikat adalah perihal sepele. Aku bahkan terkejut tatkala mendengar nada bicara ringannya, padahal dia melihatku yang jelas-jelas ditendang dari langit. Maaf, bukan ditendang, tetapi dibakar hidup-hidup.

Aku tak mau menyebut nama Tuhan saat ini. "Aku Hueningkai."

"Iya, aku tahu namamu. Aku Park Sol Ahn. Kenapa kau tidak langsung ke inti saja? Berbicaralah seperti iblis pada umumnya," sergahnya sebelum aku selesai berbicara.

"Mungkin suaraku terlalu lembut untuk ukuran iblis. Tapi aku malaikat." Kali ini aku berbicara dengan cepat.

Mata Sol Ahn bersinar-sinar mengambil puluhan permata ke dalamnya. "Jadi aku di surga?" Dia mengamati sekelilingnya. Merasakan embusan angin yang membelai kulitnya. "Ternyata surga tak seindah bayanganku."

Oh, Tuhan. Aku mengacak rambutku ketika melihat tingkah Sol Ahn. Aku tahu dia manusia, usianya sekitar 16 atau 17 tahun, tetapi kepolosannya setingkat dengan anak usia 5 tahun yang pernah kuantar ke surga bersama orangtuanya. Benar-benar polos. "Ini adalah dunia fana dan kau masih hidup. Tidak, bukan itu poin pentingnya. Aku Hueningkai, dan kau melihatku jatuh dari langit."

Awalnya, gadis ini memasang ekspresi datar. Ketika otaknya sudah selesai memahami perkataanku yang super simple, wajah itu mulai berubah. Diawali dengan rasa sedih dan tangisan singkat, barulah rasa kaget yang terlambat. Matanya melotot dan dia menutup mulutnya dengan spontan. Menyadari bahwa apa yang dilihatnya bukan ilusi, dia berkata, "Oh, shit!"

Oke, dugaanku salah. Dia tidak sepolos yang kubayangkan.

Umpatan yang keluar dari bibir tipisnya itu, menuntun Sol Ahn untuk melangkah, melewatiku sembari memegangi dahinya. Dia menunduk, menutupi mukanya seolah tidak ingin bertemu pandang denganku. Langkahnya cepat, terkesan menghindariku. Insting malaikatku mengatakan bahwa aku harus memberinya waktu untuk berpikir. Jadi aku mengikutinya dari kejauhan sambil melihat dunia ini.

Cukup lama kami berjalan di atas pasir sampai aku merindukan sepasang sayapku yang hilang digerus ombak. Aku mulai mengkhawatirkan pola pikir Sol Ahn yang sepertinya tidak paham soal penjelasan singkatku.

"Hueningkai. Namaku Hueningkai," ulangku sekali lagi. Sebelum aku sempat melanjutkan, perempuan itu berhenti dan menoleh ke arahku.

Bias lampu jalan membuat bayangan di wajahnya dari untaian rambut setengah basah yang tak rapi. Hal itu pula yang memberikan efek mengerikan pada tatapan matanya. Dia mungkin menyiratkan rasa marah saat mengusirku. Dia membentakku. Namun semua yang dia sampaikan padaku tampak berbeda dari kelihatannya.

Sol Ahn tampak kesepian dengan gaun putihnya yang lusuh. Dia memeluk diri sendiri dan menggigil. Manusia ini, aku tidak bisa meninggalkannya.

Sol Ahn menoleh beberapa kali setelah menyadari bahwa aku menjauh darinya. Dia memastikan bahwa aku mengikuti suruhannya agar enyah. Ya, akupun enyah. Enyah dari pandangannya tanpa menghilangkan dirinya dari pengawasanku.

Sebagai malaikat, bolehlah aku berkeluh kesah akan kejamnya dunia fana. Tanpa sayapku, aku tidak punya pelindung diri. Dan aku benar-benar kelabakan ketika angin dini hari menyergap tubuhku. Getar-gemetar, aku memeluk diri sampai aku menemukan sebuah toko pakaian.

Aku mendekatinya dengan perlahan. Memastikan tak menimbulkan suara sedikit pun, aku menipiskan partikel rohku dan mencoba meraih pakaian di balik kaca tersebut. Aku berencana melakukannya dengan cepat, tetapi aku lupa bahwa semua kekuatanku ada pada sayapku.

Jangan tanyakan apa yang terjadi setelahnya. Tentu saja aku memecahkan kaca tersebut dengan tinjuku. Namun ini sudah terlanjur, aku tidak bisa lari begitu saja setelah membuat onar. Sekalian saja kuambil pakaian yang paling nyaman dan berganti dengan cepat.

Sol Ahn terkejut untuk kesekian kalinya dan berlari menjauh dengan kakinya yang gemetar. Langkahnya lebar seakan melarikan diri dari monster. Aku menyambar satu lembar hoodie dan ikut berlari mengekorinya.

Setelah satu tanjakan besar, Sol Ahn berhenti dan berbalik badan. Menatapku melalui bulir air mata yang menyedihkan. Aku memelankan langkahku dan berhenti sepuluh jengkal darinya. Kuulurkan hoodie yang kuambil.

Gadis ini terdiam beberapa saat, menatapku seolah aku adalah harapan barunya. Dia tidak mengerti bahwa auranya lebih bersinar daripada mentari yang kini mulai merangkak naik, memaksa lampu jalanan dan bintang undur diri.

"Sol...." Kalimatku mendadak menjadi bisikan. Bukan, bukan karena terkesima akan kecantikan Sol Ahn yang tersenyum. Namun aku tengah merutuk diriku karena tidak menduga adanya malaikat lain yang dikirim untuk memastikan bahwa aku benar-benar mati.

Choi Soobin. Tangan kanan tuhan itu berdiri di ujung jalan, di depan sebuah bangunan dua tingkat dengan keramik mengkilap melapisi dindingnya. Malaikat itu menatap kami berdua dengan tajam. Siap melaporkan apa yang dilihatnya.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang