Chapter 2. Deep Sea Girl

358 92 15
                                    

Langit membuangku dan laut menerimaku. Akankah kisahku terhapus dari rasi bintang selamanya?

Aku bertanya pada siapapun yang mendengar suara hatiku tatkala jemariku mati-matian mengumpulkan sihir yang tersisa di sekelilingku. Aku mengencangkan kedua lenganku sering berkumpulnya cahaya di ujung tangan.

Sayap kurentangkan demi mendorong diriku menjauh dari portal yang dibuat untuk membuangku. Aku bersikeras melawan tarikannya dan melemparkan bola cahaya pada pasukan pembawa busur panah di pintu gerbang. Mereka berdiri dengan angkuhnya, menatap diriku yang meronta kesakitan. Dan ketika bola cahaya terlepas, mereka melontarkan anak panahnya dengan serentak ke arahku.

Bilah-bilah besi berujung cahaya menghancurkan serangan yang telah kulancarkan. Lebih parahnya lagi, beberapa anak panah masih melesat ke bawah. Mereka mencabik-cabik sayap putihku dengan brutal. Aku berteriak kesakitan, meronta dengan suaraku yang menggema melewati awan, melampaui ruang kosong yang kini semakin jauh dari pandanganku. Bukan hanya berlubang, sihir yang mereka sematkan, membakar semua bulu-bulu suci yang kumiliki, mengubahnya menjadi abu yang melayang di udara.

Portal langit tertutup secara tiba-tiba dan aku hanya bisa pasrah, melemaskan otot sayapku yang sudah mati rasa. Kupejamkan mata, kukepalkan tangan menuju ke langit. Singgasanaku ada di sana sedangkan aku tidak diperbolehkan menginjak istanaku sendiri. Tubuhku mungkin sudah hancur, air mataku sudah kering digantikan oleh api yang kini menguasai dada.

Aku tak peduli takdir apa lagi yang menantiku di dasar bumi, aku akan melawan semua makhluk yang menodongkan ujung tombaknya padaku. Aku akan membunuh semua orang yang meremehkanku. Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh semakin dalam. Kemudian aku akan menjadi penguasa dunia bawah. Apapun yang terjadi.

Laut menerimaku dengan kasar. Pusaran airnya mematahkan sayapku, melepasnya secara paksa dari punggungku dan membawanya pergi menjauh. Riak ini melumatku layaknya makan malam yang begitu lezat. Saat itu pula, aku yakin, takdirku adalah kematian.

Jika bisa, aku akan mengeluarkan suara lantangku sekali lagi dan membuat lautan ini terhempas. Namun jangankan berbisik, suaraku menghilang di dalam air. Leherku terasa sakit dan dadaku sangat sesak. Dengan refleks, kakiku menendang-nendang air, mencoba mencari permukaan yang semakin jauh. Kukerahkan gerak tanganku agar aku terdorong, keluar dari riak lautan ini. Mataku terpejam rapat dan ketika kepalaku terbebas dari air, sontak, aku mengambil napas dalam. Saking dalamnya aku sampai terbatuk dan mengeluarkan air dari hidung dan mulutku.

Netraku kembali terbuka. Namun jangankan memandang langit atau mengamati gelombang air, aku langsung mencari tepian. Berenang ke sana dan membayangkan kedua tanganku adalah sayap yang mendorong tubuh penuh luka ini menyusuri samudra.

Cukup lama aku berkecimpung dalam riak air sampai kulihat adanya dermaga tua yang begitu dekat. Kudorong tubuhku menuju ke sana. Terus berenang. Namun ditengah semua itu, ada satu hal yang merebut agensiku melebihi insting hidupku.

Seseorang perempuan mengapung di permukaan laut yang sudah tenang. Dia mengikuti ombak yang membawanya ke tepian. Dia pasti terseret gelombang pasang yang disebabkan pusaran tadi. Malang sekali. Nyawanya harus berakhir sia-sia. Langit pasti akan mengembalikannya ke dunia bawah, menghukumnya di neraka karena membunuh diri sendiri.

Awalnya aku berniat membiarkan mayat itu melayang-layang dan ditemukan warga sekitar ketika matahari terbit. Namun jiwa malaikatku tak bisa membiarkan kebodohan ini terjadi. Gadis itu mungkin berniat bunuh diri, tetapi dia tidak berniat mati terseret ombak pasang yang datang tanpa aba-aba.

Aku menarik perempuan berambut panjang itu ke tepi, melewati kecepatan ombak kemudian menggendongnya di punggungku ketika aku menaiki tangga rapuh ke atas dermaga. Kubaringkan dirinya menghadap langit. Dia terpejam, dengan bibir yang membiru. Tubuhnya mulai mendingin dan nyaris kaku. Kemungkinan hidupnya nyaris nol bulat. Namun karena aku baik hati, aku akan memberikan kesempatan hidup satu kali lagi.

Aku tidak punya kekuatan apapun untuk menghidupkannya kembali. Semua sihirku sudah menghilang dari ujung jemari. Jadi aku melakukannya dengan cara yang lebih manusiawi. Para makhluk fana ini menyebutnya dengan napas buatan. Suhu tubuhnya lebih dingin daripada yang kubayangkan. Dan dia masih belum membuka matanya. Jadi kupompa dadanya dengan dua telapak tangan yang terkepal menjadi satu. Manusia ini masih bergeming setelah semua usaha yang kulakukan.

Seharusnya aku tidak memedulikan orang ini begitu tau dia tidak bergerak. Namun entah kenapa aku melakukan hal sebaliknya, mungkin karena lebam dan luka yang menyedihkan di sekujur tubuhnya. Aku memberikan napas buatan padanya sekali lagi. Kali ini dengan bersungguh-sungguh. Aku berdoa pada siapa pun yang masih memandangku dengan iba. Aku memohon kembalinya kehidupan perempuan ini.

Dia pun terbatuk dan dengan refleks bangkit dari posisi berbaring. Napasnya masih tersengal ketika semua air keluar dari mulut dan hidungnya. Berkali-kali dia mengelus dada, mengucapkan sesuatu. Entah rasa syukur atau kutukan, aku tidak tahu. Kemudian dia menoleh ke arahku, nyaris berjingkat.

"Oh, Tuhan," ungkapnya lirih. Mengalihkan pandangannya dariku, dia menatap lautan, menelisik gelombangnya yang tenang. Sesaat kemudian dia mendongak menatap langit dan menemukan bulan yang menyebabkan laut penuh dengan berlian.

Tak lama setelah itu, dia menoleh padaku. "Kau ... menyelamatkanku?" Suaranya lirih dan bergetar dalam ketakutan, seiring berubahnya posisi tubuh menjadi meringkuk, memeluk diri sendiri seolah menyembunyikan luka di sekujur tubuhnya.

Namun aku tahu, matanya yang telah menangkap kilauan angkasa tak bisa menipuku. Saat itu juga aku sadar bahwa kami sama-sama tidak punya tempat di dunia masing-masing.

Night Talks || HueningkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang