Pelangi Enam [6]

7.5K 496 6
                                    

Hari senin selalu terasa sibuk dibanding hari lainnya dalam setiap minggu. Selama libur dua hari kemarin--Sabtu dan Minggu, Atha mengajak Shaka menjenguk eyangnya di Bandung, dan pagi ini mereka sudah kembali ke rutinitas semula.

Pukul tiga pagi, Atha sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Sebelum beranjak dari posisi tidurnya, terlebih dahulu dia mencium kening sang putra. Semalam Shaka merengek, meminta tidur bersamanya. Saat bibirnya menyentuh lembut kulit Shaka, Atha merasa jika suhu badan sang putra terasa panas. Dia segera mengambil termometer badan untuk memastikan. Benar, suhu badan Shaka saat ini 39°C. Atha segera beranjak menuju dapur mengambil air hangat. Secara medis, panas tubuh dapat keluar melalui pori-pori kulit yang terbuka oleh kompresan air hangat.

Sebagai dokter, Atha terbiasa untuk bersikap tenang saat harus menghadapi pasien se-kritis apa pun kondisinya. Namun, saat pasien itu adalah anggota keluarganya sendiri, maka rasanya akan semakin sulit dan berat.

Atha segera menyingkap selimut yang menutupi tubuh Shaka, membuka piyama tidurnya yang telah basah oleh keringat. Dia mencelupkan beberapa handuk kecil berserat halus yang telah disiapkan ke dalam wadah berisi air hangat untuk mengompres. Diletakkannya handuk-handuk kecil itu pada beberapa bagian lipatan tubuh yang memiliki pembuluh darah besar, seperti di kedua ketiak, area leher dan selangkangan.

Sebagai orang tua tunggal, Atha dituntut untuk selalu siap saat putranya membutuhkan. Sebelum membangunkan Shaka, dia keluar mencari sarapan bubur untuk sang putra, agar setelah Shaka bangun dapat meminum obat penurun panas.

Sekitar pukul enam pagi, Atha membangunkan putranya. "Shaka, bangun yuk, Sayang!"

"Bangun, yuk! Sarapan terus minum obat, biar Shaka cepat sembuh," lanjut Atha membujuk bangun putranya yang tampak lemas. Saat tertidur, dia juga terlihat seperti merintih.

Begitu terbangun, Atha menyapukan air hangat di sekujur tubuh Shaka dengan handuk basah, lalu dikeringkannya. Setelah itu, dia membujuk Shaka agar sarapan sebelum meminum obat penurun demam. Namun, Shaka menolak.

"Shaka mau dicuapin Ate Za."

"Ate Za nggak ada. Shaka sarapan disuapin papa aja ya?" lagi Atha membujuk sang putra. Namun, Shaka tetap teguh pada pendiriannya, hanya mau sarapan saat disuapi oleh Zaza.

Akhirnya Atha mengalah, dia segera bersiap-siap untuk mengantar Shaka ke rumah eyangnya sekaligus akan berangkat ke rumah sakit dari sana. Pukul sembilan pagi ini, Atha ada jadwal operasi caesar. Jadi, walaupun Shaka sakit, tidak mungkin dia ijin untuk tidak datang, apalagi sakit Shaka hanya demam. Dia berencana akan sekaligus meminta Zaza untuk merawat Shaka di rumah.

Tok tok tok ...!

Atha mengetuk pintu rumah Zaza. Tidak lama, terlihat pintu kayu bercat cinnamon itu terbuka. Atha melihat Zaza yang membukakan pintu untuknya. Zaza muncul dengan menggunakan daster lengan panjang, dengan kepala yang selalu tertutup jilbab rapat. Dia memang sangat menjaga auratnya di depan orang lain yang bukan mahram, termasuk kepada Atha.

Melihat Zaza menggunakan daster, membuat Atha dengan susah payah menenguk salivanya kasar. Yang Atha tahu, biasanya daster itu sering digunakan para wanita saat bersantai di rumah atau saat tidur, karena bahannya yang adem dan nyaman digunakan. Penampilan Zaza pagi ini, entah kenapa justru mengingatkan Atha saat dahulu istrinya masih ada. Atha menyukai saat malam dan pagi hari, Yesha bangun dari tidurnya menggunakan pakaian daster seperti ini. Namun, Yesha biasanya menggunakan daster dengan model yang lebih terbuka dari pada ini. Bagi Atha, pakaian itu seolah mampu menguarkan kecantikan alami wanita rumahan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam ... eh, ada Bang Atha sama Shaka. Yuk, masuk!" ucap Zaza sambil membuka lebar pintu rumahnya. "Ada apa pagi-pagi ke sini, Bang?"

PELANGI yang Sama (END) ✔ [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang