Pelangi Tiga [3]

6K 258 12
                                    

"Yakin, nggak mau dijemput Abang? Entar nyesel, loh. Abang rela kok, menyeberangi lautan, mendaki gunung tertinggi, demi menjemput Adek kesayangan."

Zaza tergelak, mendengar gombalan receh ala Bang Irsyad. "Nggak mempan gombalan Abang itu buat aku. Lagian, kaya nggak ada cewek lain aja, sih, yang bisa Abang gombalin selain Adek tersayang yang imut ini? Ketahuan banget kalau Abang jomlo abadi, hahaha ...."

"Aduuuh, Za. Jangan buka kartu Abang, dong! Lagian sesama jomlo nggak usah saling ejek."

"Kata siapa aku jomlo?"

"Eh ... emang kamu punya pacar, Za?" selidik Irsyad penasaran.

"Uppss ... keceplosan. Bukan pacar sih, Bang. Cuma aku lagi dekat sama dia aja. Abang nggak usah khawatir, dia baik, ikhwan juga, kok. Jadi, nggak mungkin kita pacaran."

"Ingat, ya! Kamu hutang penjelasan sama Abang. Pas kita ketemu nanti, kamu harus cerita semuanya sama Abang!"

"Siap! Abangku, tersayang."

Itu obrolan sekitar seminggu yang lalu dengan Bang Irsyad, dan sekarang di sinilah dia berada, rumah tempatnya lahir dan mengenal segala macam rasa. Rasa cinta, sayang, bahagia, sedih, kecewa, iri, dan segala rasa yang memang fitrah seorang manusia. Walau akhirnya dia memilih untuk menjauh, berusaha berdamai dengan rasa iri dan kecewanya. Namun, keluarga tetaplah selalu menjadi rumah paling nyaman untuk pulang dan berbagi kasih sayang.

"Za, tadi Ayah belikan mi ayam kesukaan kamu. Langsung di makan, ya!"

Semenjak kembali ke rumah keluarganya, dia merasa diistimewakan. Saat pulang kerja, ayahnya akan membawakan makanan kesukaannya. Sang ibu juga sering membuat masakan kesukaannya.

"Za, Ibu masak terong sambal balado kesukaan kamu. Makan yang banyak, ya."

"Iya, Za. Mumpung di sini makan yang banyak. Kalau mau diet, nanti di Yogya aja," bisik Bang Irsyad di telinga Zaza. "Dan, inget ya! Kamu masih hutang penjelasan ke Abang."

Tidak ingin terus menerus diteror oleh Bang Irsyad, Zaza akhirnya mengajak abangnya keluar. Dia belum ingin orang di rumah ini mengetahui, cukup Bang Irsyad saja yang Zaza percaya untuk tahu tentang perasaan suka kepada lawan jenisnya saat ini.

"Jadi, namanya Zayyan? Dia kakak tingkat di fakultas yang sama dengan kamu?"

"Iya, Bang. Selain itu, Kak Zay wakil ketua BEM di kampus. Dia juga aktif di rohis."

"Kalian saling suka?"

"Iya, Kak Zay baik banget sama aku, Bang. Aku suka dia, dan Kak Zay pernah bilang kalau dia juga ada rasa sama Zaza, Bang. Kita sepakat untuk nggak pacaran, tapi jika berjodoh, Kak Zayyan akan segera mengkhitbahku begitu aku lulus nanti," terang Zaza setengah takut melihat manik Bang Irsyad yang begitu fokus menatap ke arahnya.

"Abang sebenarnya kurang setuju pada pilihan hubungan kalian ini. Itu sama aja, kalian menciptakan hubungan yang nggak pasti. Kalau memang serius, apa nggak sebaiknya segera kalian seriuskan hubungan ini sejak sekarang?"

"Nggak bisa, Bang. Orang tua Kak Zay nggak mengijinkan kalau Kak Zayyan menjalin hubungan serius sebelum kuliahnya kelar."

"Kamu dah ketemu orang tuanya?"

"Belum, sih, Bang. Itu menurut penuturan Kak Zayyan."

Mendengar jawaban Zaza, Irsyad menghela napas berat. Menurutnya, saat ini emosi Zaza masih belum stabil. Irsyad tak bisa menyalahkannya. Jauh dari keluarga, membuat Zaza mencari bentuk kasih sayang lain. Yang bisa Irsyad lakukan sekarang, terus menasihatinya dengan lembut dan selalu menjaganya dari jauh.

PELANGI yang Sama (END) ✔ [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang