7. Bolos Kelas

269 39 40
                                    


Perhatian! Kalau kamu punya tisu, bacanya sambil pegang tisu, ya!

***
Kaki Gamma tak berhenti bergoyang gelisah dalam duduknya. Dia kehilangan fokus, sekali pun Pak Endang tengah menjelaskan salah satu bab pelajaran Sejarah di depan kelas. Entahlah sudah berapa kali Gamma menghela napas, berharap dapat mengusir semua kegelisahan yang semakin lama semakin membuatnya frustrasi.

“Hei, Gamma,” panggil Pak Endang dengan logat khas orang Medan.

“Ya, Pak?” Gamma spontan meneggakkan badan, sebab dia sedang meremas kepalanya dengan kedua tangan yang sikunya bertumpu di meja saat Pak Endang memanggilnya.

“Kenapa kau? Kuperhatikan kau goyang-goyangkan kaki kau sejak tadi. Sakit perut kau?” tanya Pak Endang dengan posisi kacamata yang melorot ke ujung hidung.

“Hah?” Gamma melongo. Sedetik kemudian, dia seperti mendapat pencerahan dari teguran Pak Endang. Buru-buru dia memegangi perut dan menunjukkan wajah kesakitan. “Akh! I-iya, nih, Pak. Aduh.”

“Ga, lo kenapa?” bisik Andra sambil menyikut Gamma. Dia memandang teman sebangkunya dengan bingung. Perasaan tadi Gamma baik-baik saja. Kok jadi ikutan sakit perut kayak Rian?

Gamma melirik dan berkedip, memberi isyarat pada Andra bahwa dia hanya pura-pura kesakitan. “Anu, Pak ... Perut saya sakit banget, Pak. Aduh, Pak! Yah, saya kentut, Pak!”

“Eh, Bangsat,” umpat Andra sambil menjauhkan diri. Tangannya buru-buru menutup hidung saat mendengar kentut Gamma berbunyi nyaring.

“Iyuh, Gamma!” omel sebagian para kaum hawa. Sebagian teman lainnya ramai tertawa. Ada juga yang menyoraki Gamma, bahkan mengusirnya karena sudah buang angin sembarangan.
Gamma tertawa dalam hati. Sorry, Gais. Gue terpaksa kentut beneran supaya sandiwara ini terlihat nyata.

“Hei, Gamma! Lebih baik kau buru-buru ke toilet! Buang hajatlah kau di sana, sampai tuntas!” titah Pak Endang. Buku sejarah yang beliau pegang sudah menutupi setengah wajahnya, tidak ingin aroma kentut Gamma sampai ke indra penciumannya.

Gamma berteriak yes dalam hati. Sambil pura-pura merintih memegangi perut, dia beranjak keluar kelas. “Permisi, Pak. Izin ke toilet, Pak.”

“Sana, sana! Jangan kembali sampai kentut kau hilang, ya!”

Setelah Gamma menutup pintu kelas dari luar, dia bergegas menuju perpustakaan. Sesampainya di sana, Gamma semakin berbahagia karena Bu Wiwik tidak ada di loket perpustakaan. Tanpa menulis buku absen di loket, Gamma melangkah masuk dengan perlahan, melewati lorong demi lorong sambil memendar ke segala arah mencari objek pencariannya.

Gamma berhenti saat samar-samar mendengar isak tangis. Dia mendekati satu rak buku paling ujung dan menemukan Kiara sedang terisak sambil duduk memeluk lutut di lantai. Gamma ingin mendekatinya, tetapi dia ragu. Maka, dia putuskan untuk keluar dari perpustakaan, lalu berlari menuju kantin.

“Bu, jual tisu?” tanya Gamma pada Bu Ela, salah satu penjual di kantin sekolah yang menjual perlengkapan alat tulis dan sejenisnya.

“Jual. Mau berapa?” Bu Ela memberikan satu bungkus tisu ukuran kecil.

Gamma menggeleng. “Kecil banget, Bu. Ada yang lebih gede nggak?” Jika mengingat masalah yang menjadi penyebab Kiara menangis, Gamma yakin gadis itu butuh banyak stok tisu.

Meski pun Bu Ela mengernyit bingung, dia mengambil satu bungkus tisu berukuran lebih besar yang biasa dia jual seharga tiga ribu rupiah. Kira-kira isinya 50 lembar tisu. “Maksudnya yang ukuran segini?” tanyanya.

Gamma mengusap dagu sambil berpikir sejenak. Masih terlalu sedikit, pikirnya. “Yang lebih gede lagi nggak ada, Bu? Tuh, yang kayak di meja kantinnya Pak Ahmad!”

Sebelum 3078 MDPLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang