9. Tiga Syarat

271 44 43
                                    

Kiara menutup novel yang sedang dia baca. Dia kehilangan minat membacanya, meskipun suasana di sekitar kolam renang sangat mendukungnya untuk bersantai. Satu jam berlalu. Menunggu Rista mulai membuatnya bosan. Dia paham sekali dengan kebiasaan mamanya saat bertemu klien. Berdiskusi tentang rancangan dekorasi sebuah acara tidak akan selesai hanya dalam waktu satu jam, apalagi Rista bertemu dengan teman lamanya saat ini. Kiara bisa pastikan mamanya akan mengobrol sampai lupa waktu. Sekaligus melupakan putri yang diajaknya, tetapi malah terabaikan.

Lapar, Kiara mengeluh dalam hati.

Ternyata, memutuskan berhenti menggalau patah hati dan keluar kamar, Kiara jadi ingat rasanya lapar. Sedahsyat itu, ya, efek patah hati. Pantas banyak orang tahan tidak makan berhari-hari saat patah hati. Mereka lebih fokus pada rasa sakit di hati daripada perih di lambung. Pantas nafsu makan ikut hilang, mendadak jadi tahan lapar. Wajar kalau banyak kasus orang meninggal gara-gara patah hati, yang sebenarnya mereka meninggal karena tidak makan berhari-hari.

Kiara jadi bergidik ngeri membayangkan jika semua itu terjadi pada dirinya. Dia pun bangkit, hendak mengadu pada Rista kalau perutnya butuh makanan. Namun, belum sempat Kiara melakukannya, dia mendadak melompat-lompat kecil dan bergerak ke sana kemari dengan tidak jelas. Kiara kebelet pipis. Pasti karena dia kebanyakan minum es sirup buatan Anya.

Buru-buru Kiara masuk ke dalam rumah yang luasnya dua kali lipat dari rumahnya. Dia menoleh kiri dan kanan, berharap ada seseorang yang muncul untuk Kiara tanya letak toilet di rumah ini. Namun, rasa mendesak dalam dirinya semakin tak tertahankan, menuntut untuk segera dikeluarkan. Kiara putuskan untuk bergegas ke ruang tamu, bertanya langsung pada Anya agar bisa segera menemukan salah satu toilet di rumah ini.

Ketika langkahnya baru setengah jalan melewati ruang tengah, Kiara menemukan seseorang tengah berdiri di depan tangga. Buru-buru Kiara menghampirinya sebelum orang itu melangkah naik.

“Mas, numpang nanya. Toilet di mana, ya?” tanya Kiara sambil bergerak gelisah. Dia tak tahan lagi. Jangan sampai dia ngompol di sini. Bisa murka mamanya jika Kiara sampai kelepasan melakukan hal bodoh seperti itu. Kiara tak sanggup menghadapi jeritan kekecewaan Rista yang gagal mencapai kesepakatan order dengan klien gara-gara ulahnya.

Untuk sesaat, Kiara berhenti bergerak dan melupakan sejenak rasa ingin buang air kecil yang mendesaknya. Dia menatap takjub seseorang yang tadi dia tanya, kini menoleh ke arahnya.

“Kak Gamma?” sapanya dengan mata berbinar. Dia benar-benar tak menyangka akan bertemu cowok ini di sini.

Kiara langsung menghela napas lega karena ketakutannya tidak terjadi. Tante Anya bukan mamanya Danu. Rumah ini, bukan rumahnya Danu. Kiara yakin seratus persen bahwa Gamma tinggal di rumah ini dan Anya adalah ibunya Gamma.

Kok gue bego banget, ya? Padahal caranya gampang banget untuk ngebuktiin Danu tinggal di sini atau nggak. Di rumah ini pasti ada foto keluarga, kan? Fix, lah, patah hati bikin gue jadi oon, rutuk Kiara dalam hati.

“Ngapain lo di sini?”

Kiara tertegun saat Gamma menyapanya dengan wajah dingin dan ketus. Sangat berbeda dengan Gamma yang terakhir kali dia temui di perpustakaan beberapa hari lalu. Kok, orang ini kayak bunglon, ya? Berubah terus. Sebentar baik, sebentar galak, batinnya.

Sedetik kemudian, Kiara tersenyum simpul. Dia teringat satu prinsip kehidupan yang Rista ajarkan padanya, yaitu tetap tersenyum ceria, sekalipun orang yang dia ajak bicara memasang wajah menyebalkan. Persis yang Gamma lakukan sekarang. Jika bukan Kiara yang mengalami ini, mungkin mereka lebih memilih pergi sambil menggumam sumpah serapah untuk Gamma karena sapaannya tidak mendapat sambutan hangat.

Sebelum 3078 MDPLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang