-15-

17 1 0
                                    

Enira sedang melamun di kamarnya, dua minggu lagi ia akan kemballi ke Indonesia, ia akan bertemu dan berkumpul lagi dengan suaminya. Enira tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, betapa momen itu sangat ia nantikan.

"Permisi nona, anda dipanggil oleh Nyonya" kata Rose yang membuyarkan lamunannya.

Enira segera turun ke bawah dan menemui Nyonya di ruang keluarga.

"Enira, dua minggu lagi kamu akan kami pulangkan ke Jakarta" kata Nyonya Rarangga dengan senyuman.

Enira hanya tersenyum sambil duduk di hadapannya dengan perasaan yang amat gembira.

"Tapi sebaiknya kamu telepon orang rumah atau teman terdekatmu, atau kamu masih ingat nomor telepon suamimu?" tanya Nyonya Kembali.

"Aku mengingat nomor telepon apartemenku, tapi aku tidak punya telepon disini" kata Enira dengan pelan.

Nyonya Rarangga tertegun, ia bahkan lupa untuk membelikan Enira telepon genggam. Tapi di rumah ini dilengkapi dengan telepon rumah di segala penjuru, tapi Enira bahkan tak berani menyentuh barang-barang yang ada di rumah ini. Jika ia mau, ia bisa meminjam telepon Rose atau pekerja yang lain, tapi Enira begitu malu dan tunduk terhadap semua orang di rumah ini.

Nyonya Rarangga kemudian tersenyum sambil menyodorkan telepon genggamnya. Enira terlihat takut untuk mengambilnya tapi Nyonya meyakinkannya dengan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Akhirnya Enira mengambil telepon genggam tersebut sambil mengucapkan terimakasih. Nyonya menyuruhnya untuk menelpon di dalam kamar saja agar Enira merasa nyaman dan lebih leluasa untuk berbicara. Enira pun setuju dan cepat naik ke atas untuk segera melepas rindu dengan suaminya.

"Hallo" sapa orang di seberang telepon.

"Hallo Bi Wati, Mas Reno ada?" jawab Enira dengan semangat, ia sangat gembira mendengar suara pembantunya.

"Maaf ini siapa?" tanya Bi Wati kembali.

"Bi, ini aku Enira, Bibi apa kabar? Aku akan pulang dua minggu lagi" katanya lebih bersemangat.

"Nyonya Enira? Tidak mungkin ... ti ... dak ... tidak mungkin!" kata Bi Wati seperti ketakutan.

"Tidak mungkin bagaimana Bi? ini aku Enira. Mas Reno ada?" kata Enira Kembali.

Dengan terbata-bata Bi Wati menjawab kalau Mas Reno sedang tidak ada di apartemen. Ia memberitahukan pada Enira kalau mas Reno sedang berada di luar Jakarta di rumah barunya. Enira bingung, seingatnya Reno tidak punya tempat tinggal selain apartemen tempat tinggal mereka berdua. Tapi Enira dengan sangat bersemangat mencatat nomor telepon rumah yang diberitahukan oleh pembantunya. Suara pembantunya begitu ketakutan tapi tak ia hiraukan karena berbicara dengan suaminya yang terpenting sekarang ini.

Akhirnya Enira menelpon nomor tersebut.

"hallo" sapa seorang wanita di seberang sana.

Enira terkejut, suara wanita? Ia merasa dadanya memanas, ia tidak bisa mengontrol deru nafasnya sekarang.

"Hallo, ini siapa?" kata wanita itu kembali.

Hati Enira semakin sakit, yang Enira tahu, Reno tidak punya keluarga atau teman akrab, apalagi ini seorang wanita. Jika memang teman kantor atau kliennya, apa wajar ia menjawab telepon Reno selarut malam begini? Terlebih ini adalah nomor telepon rumah Reno, apa mereka tinggal bersama?

Enira mulai menangis, tak dapat diceritakan bagaimana rasa sakit hatinya saat ini.

"Mas Reno ada?" tanya Enira hati-hati sambil menahan tangis dan rasa sakit di hatinya.

"Suamiku sudah tidur, ada yang bisa aku bantu?"

DEG!!!

Enira menjatuhkan teleponnya dan terduduk seketika ke lantai. Enira tak menyangka apa yang ia dengar barusan, suami? Reno punya Istri? Sedangkan istrinya Enira masih di negeri orang, lalu siapa wanita tadi? Istri barunya?

Enira menangis sejadi-jadinya.

"Tok ... tok" suara pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Enira, ini aku Reyhan. Apa terjadi sesuatu?" tanya Reyhan di balik pintu. Kemudian pintu kamar Enira terbuka, ternyata Enira lupa menguncinya.

Reyhan terkejut melihat Enira sudah bersimpuh di lantai dengan air mata yang sangat deras mengalir di pipinya. Reyhan segera mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi, tapi Enira enggan menjawab.

Reyhan terus membujuk Enira agar mau bercerita, akhirnya Enira mengangkat wajahnya.

"Suamiku sudah menikah lagi" kata Enira dengan begitu menyedihkan. Reyhan terdiam, ia masih belum mengerti maksud perkataan dari Enira.

"Tuan, suamiku sudah menikah lagi, ia sudah memiliki istri yang lain, aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang, mungkin suamiku mengira aku sudah mati Tuan" kata Enira dengan air mata yang mengalir semakin derasnya.

Reyhan tertegun, ia sangat miris melihat wanita manis dihadapannya ini bersedih, ia memeluknya dengan erat. Reyhan merasa nasibnya sama dengan Enira, sama-sama ditinggalkan. Reyhan mengeluarkan air mata, ia menepuk-nepuk penggung Enira dengan lembut, berharap bisa meredakan tangisan Enira.

"Sudah, jangan menangis lagi" kata Reyhan dengan lembut.

Enira mencoba menenangkan dirinya dan menghapus air matanya perlahan.

"Aku harus tetap pulang, aku harus muncul di hadapan suamiku dan memberitahukan bahwa aku masih hidup!" kata Enira dengan tegas.

Reyhan terdiam, salut dengan tekad yang dimiliki Enira, Reyhan setuju dengan perkataan Enira karena Enira akan meluruskan semuanya supaya tak ada yang salah. Reyhan memegang dadanya, rasa sakit hatinya datang kembali, seharusnya ia juga berani muncul di hadapan Vinia dan memeberitahukan bahwa dia adalah suaminya, tapi sayang nyalinya tak sebesar nyali Enira.

Enira masih tertunduk, lalu Reyhan mengambil dagu Enira dengan lembut.

"Perjuangkan cintamu, jangan sampai membuat suamimu melakukan kesalahan dan kamu hanya bisa berdiam diri" ucap Reyhan meyakini Enira.

Enira tersenyum dengan mata berbinar, ia memeluk Reyhan.

"Terimaksih karena sudah menyemangatiku" kata Enira.

Reyhan tersenyum, lalu menyuruh Enira untuk istirahat. Reyhan keluar kamar itu dengan Langkah kaki yang begitu pelan. Tanpa sadar ia berpapasan dengan Ibunya.

"Nak, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Nyonya Rarangga.

"Ibu, aku rindu istriku" kata Reyhan sembari ambruk di pelukan Ibunya, sungguh malang nasib Tuan Muda keluarga Rarangga, begitu hancur karena seorang wanita yang begitu dicintainya. Ibunya menanahan air mata dengan sekuat tenaga, ia tak mau ikut lemah sementara anaknya memerlukan dukungan. Ia dengan erat memeluk anaknya dan mengatakan semua akan kembali, kembali menjadi milik Reyhan.

MENEBUS DOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang