24

1K 65 11
                                    

Masih satu bulan lagi akan dilaksanakan ujian akhir semester. Namun, berbeda dengan teman-temannya yang masih bersantai, Tasya justru memfokuskan diri untuk selalu belajar setiap hari. Bukan karena Tasya anak yang rajin atau kutu buku, hanya saja ia melampiaskan seluruh kesedihannya dengan belajar. Mungkin itu adalah cara yang paling baik saat ini ia gunakan untuk melupakan kesedihannya.

Akhir-akhir ini, Tasya lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Gadis itu hanya akan ke kantin jika dipaksa oleh ketiga sahabatnya. Seperti sekarang ini, Airin memegang lengannya agar Tasya tidak kabur.

"Lo nggak boleh kabur lagi," ucap Rani

"Bener tuh, Sya. Lo juga harus makan, bukan cuma belajar aja," timpal Airin

Tasya hanya bisa pasrah dengan perlakuan para sahabatnya. Gadis itu menurut kali ini.

Mereka membawa Tasya ke meja tempat Nesa berada.

"Lama banget tau nggak!" cerocos Nesa

"Nih! Gara-gara dia nih" ucap Rani menunjuk Tasya

"Udah di pesenin kan, Nes?" tanya Airin yang kemudian mendapat anggukan dari Nesa

Setelah cukup lama, akhirnya makanan mereka datang. Keempat gadis itu makan dengan nikmat. Mengabaikan segala bisikan dari orang-orang yang berbicara buruk tentang mereka. Bukan. Hanya Tasya yang sering mereka gosipkan. Karena sejauh ini hanya gadis itu yang bisa dekat dengan Barga.

Berbicara mengenai Barga, sudah satu minggu lelaki itu membolos. Banyak yang menanyakan kabar lelaki itu pada anggota Argasta, tetapi tidak ada yang memberitahu dimana dan apa yang tengah dilakukan ketua Argasta itu.

Tanpa sengaja Tasya dan ketiga sahabatnya mendengar sindiran yang dilontarkan oleh salah satu teman Maura yang duduk tidak jauh dari mereka.

"Gila ya! udah ngehilangin nyawa anak orang, dan dia masih berani nampakin mukanya di sekolah,"

"Nggak punya malu, dasar!"

"Jangan-jangan dia mau nyari korban berikutnya deh. Upss!"

"Bitch!"

BRAAKK!

Gebrakan yang keras itu mengundang perhatian semua siswa yang berada di kantin.

"Kalo ngomong jangan ngasal, ya kak!" sentak Airin

Sudah cukup! Sudah cukup Tasya mendengar segala makian dari teman-teman Maura. Airin tidak ingin Tasya terus merasa bersalah atas kematian Rama.

"Tasya nggak pernah ngelakuin semua yang kalian bilang,"

Seketika Maura membuat ekspresi pura-pura terkejut,

"Oh ya?"

"Terus dimana Barga sekarang? Lo pasti tau kan?" tanyanya pada Tasya

Tasya hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa. Dan itu membuat Maura geram.

"Buruan jawab!" sentak Maura

Tasya menggeleng pelan bersamaan dengan air matanya yang jatuh

"Lo nggak usah pura-pura nggak tau deh," ucap salah satu sahabat Maura

"Kita nggak pernah tau dimana kak Barga, ya! Kalo mau tau cari aja sana!" kesal Rani

"Mending kita nganterin Tasya ke kelas. Nggak usah ladenin tu nenek lampir," ucap Nesa yang diangguki oleh Airin dan Rani

***

Setelah makan malam bersama keluarganya, Tasya langsung kembali ke kamarnya. Tidak seperti biasanya, ia akan mengganggu Aldo bermain game. Sangat aneh menurut Aldo.

Melihat pintu kamar adiknya terbuka, dengan sengaja Aldo memasuki kamar Tasya secara diam-diam. Ternyata gadis itu belum tidur, dan berada di balkon. Entah sedang melamunkan apa, Aldo tidak tahu.

"Belum tidur, dek?" tanya Aldo seraya mendudukkan dirinya disamping Tasya

Tidak ada suara dari Tasya. Gadis itu hanya menggeleng pelan.

"Abang siap denger kok! Nggak usah di tutup-tutupin," kata Aldo

Tasya menoleh saat mendengar perkataan Aldo barusan. Ia berusaha menahan agar tidak menangis di depan Aldo. Namun, rasanya kini ia tidak mampu lagi untuk menahan segala beban yang ia pikul sendiri selama ini. Ia butuh sandaran. Dan orang yang tidak akan pernah lelah mendengar keluh kesahnya adalah Aldo.

Air mata yang sedari tadi gadis itu tahan akhirnya jatuh juga, bersamaan dengan pelukan hangat yang ia dapat dari sang kakak.

"Nggak papa. Apapun masalah yang lagi Caca hadapi, Caca harus kuat," ucap Aldo menenangkan

"Hikss... Caca kangen bang, Caca kangen banget," ucap Tasya terisak

"Kalo kangen ya di doain lah dek,"

"Udah ya! Jangan nangis lagi. Abang lagi nggak punya coklat buat adek bayi," gurau Aldo

Tasya memanyunkan bibirnya kesal.

"Ihh, jahat banget sih. Bodoamat Caca ngambek!" ucap Tasya berpura-pura kesal

"Lahh kok jadi ngambek gini, abang kan cuma becanda doang," ucap Aldo

"Yaudah beliin coklat makanya," ucap Tasya

Dengan cepat Aldo mengangguk, dan itu membuat Tasya tersenyum lebar. Mau saja kakaknya itu ditipu Tasya. Hmmm.

***

Sudah seminggu lamanya Amanda, mama Barga tidak sadarkan diri. Sudah seminggu pula Barga selalu menemaninya tanpa lelah. Lelaki itu bahkan tidak mengatakan kepada siapapun tentang keberadaannya. Teman-temannya hanya mengetahui bahwa ia kembali ke Amerika untuk meneruskan urusannya yang belum sempat selesai waktu itu. Hanya para sahabatnya yang tahu dimana keberadaan Barga. Itupun mereka memaksa Barga untuk mengatakan yang sebenarnya. Bukan tidak ingin diketahui keberadaannya, hanya saja Barga tidak ingin mendapat gangguan dari musuhnya jika mengetahui bahwa ia sedang berada di titik yang paling menyedihkan saat ini.

Jika saja Amanda sadar, mungkin wanita paruh baya itu akan merasa senang, mengetahui bahwa putra semata wayangnya kini berada di dekatnya. Namun, sampai saat ini masih belum ada kabar dari dokter mengenai perkembangan kondisi mama Barga itu.

Tama juga lebih sering mengunjungi rumah sakit tempat Amanda di rawat. Meski sudah menjadi mantan, tetapi Tama masih peduli. Terlebih lagi Amanda adalah ibu dari Barga.

"Besok kamu harus kembali ke sekolah," suara Tama memecah keheningan di dalam ruangan

Barga berdehem sebagai jawaban.

"Apa keinginan kamu sekarang?" tanya Tama tiba-tiba, yang membuat Barga menoleh

Cukup lama Barga terdiam sampai akhirnya Tama bersuara kembali

"Apapun itu akan papa kasih selagi papa bisa," ucapnya

Barga menatap Tama kemudian berujar, "Jangan pergi,"

"Jangan sakit,"

"Tetep sehat,"

"Bisa?"

Tama cukup terkejut mendengar permintaan putranya itu. Ternyata sederhana sekali keinginannya. Tadinya Tama berpikir bahwa Barga akan meminta sesuatu yang mungkin tidak akan bisa Tama berikan. Karena biasanya jika diberikan pilihan maka Barga pasti akan meminta yang tidak akan pernah bisa diberikan oleh Tama.

Dengan senyum tipis Tama mengangguk mantap.

"Papa usahakan"

Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan antara ayah dan anak itu. Keduanya sama-sama memilih diam dengan pikirannya masing-masing.

Tanpa mereka sadari bahwa sedari tadi ada yang mendengar pembicaraan mereka dengan senyum yang tertahan. Amanda sudah sadar saat mendengar suara Barga tadi. Suara yang akhir-akhir ini sering berada di mimpinya. Dengan sengaja ia tidak membuka mata agar bisa mendengar jawaban dari putra semata wayangnya. Permintaan sederhana, tetapi mampu membuat hati Amanda sedikit tergores.










Jangan lupa vote :)

BARGA (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang