Bab 4

22 8 14
                                    

(05 Februari 2037)
08.00 p.m

Az terlempar dari sebuah portal ke atas gedung. Dirinya seakan kembali hidup setelah bereinkarnasi menjadi debu. Pusing melanda kepalanya. Namun, ia harus tetap berusaha, demi wanita yang dicintainya.

Ia melihat ke arah arloji yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Sebuah hologram kecil tengah mengambang. Pukul 08.00 malam. Saat ini, Cloe sedang berada di sebuah danau. Duduk di atas batu besar, seraya menangis.

 Ia ingin menjadi akrab dengan Jack, namun, tiada keberanian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia ingin menjadi akrab dengan Jack, namun, tiada keberanian. Dan memang pada dasarnya, seorang Cloe akan menangis kala pikirannya buntu. Disaat itulah, lima belas menit kemudian, Az datang dari arah jam 9. Hati Az memang tak sengaja melihat seorang perempuan menangis. Dan itu, akan menjadi pertemuan Az dan Cloe yang pertama.

Az yang melamun di atas gedung segera tersadar. Ia harus segera berteleport menuju danau itu. Sebelum, dirinya di masa lalu mendatangi Cloe.

'Apapun itu, aku harus membelokkan cerita,'

Zzep...

Az berteleport. Dan dalam sekejap, ia sudah berada di belakang batu besar. Memang, suasana di sana sangat ramai. Namun, itu kesempatan. Karena kalaupun ada orang yang tersadar, area danau adalah area dilarang menggunakan barang elektronik. Tak akan ada yang membuatnya viral.

Suara isakan tangis perempuan terdengar. Az mendongak. Memang benar, Cloe sedang duduk bersedekap disana. Menangis sesenggukan.

Az menghela napas perlahan. Ia melihat ke arah jam 9. Seorang lelaki yang mirip dengan dirinya--karena itu memang dirinya di masa lalu--tengah berjalan. Az segera menaiki batu besar itu.

"H-hai," Sapanya pada gadis remaja yang tengah menangis itu. Gadis remaja itu mendongak. Seorang lelaki tengah berdiri di hadapannya. 'Hai? Yang benar saja, Az?!'

"Siapapun jangan ganggu aku!" Sentak wanita itu tiba-tiba. Az terkejut, ia tampak kikuk.

"A-ah, maaf," katanya lirih. Tangannya menggosok tengkuknya sendiri. "A-aku tidak bermaksud untuk mengganggumu,"

Gadis itu melirik ke belakang. Menambah gerakan kikuk Az. Mata gadis itu sembab.

"Kau kenapa?" Tanya Az. Lirih tapi terdengar. Gadis itu memalingkan muka. Baginya sosok Az hanya mengganggu kegiatan menangisnya.

"Peduli apa kamu? Aku saja tidak mengenalmu," jawabnya ketus. Az menghela napas. Ia sekarang ragu untuk melangkah lebih maju. Close tetap saja dingin seperti biasanya.

'Tapi kalau dipikir-pikir, awal pertama kami bertemu juga seperti ini,'

Az menjulurkan tangannya. 'Benar, aku harus bersabar'

"Kenalkan, aku Az, Bibi," ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman--yang memancing naiknya alis kanan Cloe. Apa maksud lelaki random ini?

"Hah?" Cloe mengusap air matanya. "Bibi?" Dia terkekeh pelan. Kekehan kesal. "Apa aku memang setua itu?"

"Huh?" Az menggeleng. "T-tidak, kau masih terlihat muda. Maksudku, bahkan untuk tiga tahun kedepan-eh. Anu..."

'Bodoh, jangan mengatakan yang tidak-tidak, Az!'

Alis Cloe semakin meninggi. Tiga tahun kedepan? Masih muda? Bibi? Apa maksudnya?

"Kenapa kau memanggilku bibi?" Tanyanya lagi. Kini, ia berdiri menghadap Az sambil melipat kedua tangannya. "Kau tahu, aku agak sensitif membahas sebuah panggilan atau usia,"

"E-eh, k-karena aku adalah keponakanmu di masa depan," gagap-gagap Az menjawabnya. Ia tahu tidak akan mudah memunculkan kepercayaan begitu saja pada hal yang mustahil untuk tahun ini. Belum ada teknologi canggih untuk menjelajahi waktu.

"He?" Cloe mengernyitkan dahi. Benar saja. Tidak mudah membuat seseorang percaya. Cloe terkekeh---lagi-lagi kekehan kesal. "Kau ini ngelantur?"

Az menghela napas. Ia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia mengaku sebagai anaknya saja. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Bagaimana dia akan menjelaskannya?

"Apapun itu, aku bersungguh-sungguh mengatakannya." Cetusnya. Ia ikutan melipat tangan. Ditatapnya netra hazel Cloe dengan serius. "Aku adalah keponakanmu di masa depan,"


"Terserah," Cloe menghela napas. Ia membalikkan badannya, mengambil langkah untuk berjalan meninggalkan batu besar itu. "Sepertinya halusinasi ku sekarang bisa mengajakku berbicara,"

Az tersenyum jengkel. Apakah Cloe benar-benar gila? Padahal jelas-jelas dia berdiri di hadapannya. Secara nyata.

"Hey!" Az menahan tangan Cloe. "Apa kau tidak mempercayaiku, eh?"

Lagi-lagi Cloe menghela napas. "Aku sudah gila," gumamnya lagi. Az semakin jengkel.

"Hey, Tuan." Cloe menepis tangan Az, lantas berbalik menghadapnya. Tangannya kembali terlipat. "Bagaimana bisa aku percaya tanpa adanya bukti? Lagian apa-apaan masa depan?"

Az menatap sosok yang ada di depannya kini. Benar, semua juga butuh bukti. Cloe memutar bola matanya.

"Baiklah, aku permi-"

Grep!

Lagi-lagi Az menahan tangan Cloe, membuat Cloe terkejut. Ditatapnya Az dengan tatapan kesal. Super kesal.

"Lepaskan ak-"

"Kalau aku memberikan bukti itu, apakah kamu akan percaya?" Tanyanya. Ditatapnya Cloe serius.

Cloe menegak ludahnya. Lelaki ini benar-benar serius dengan perkataannya.

"Tidak," Cloe beranjak pergi lagi, menepis tangan Az. "Kalaupun itu benar, aku akan-"

Sebuah tangan menarik lengan Cloe bersamaan dengan sebuah cahaya biru terang terpancar. Membelalakkan mata siapapun yang melihatnya. Sebuah portal terbuka, dan mereka berdua tertarik ke dalamnya.

***

Karena Kau Tak Ada [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang