Satu

15.1K 723 26
                                    

Being Single is not Sin

Dalam pandangan beberapa orang, perempuan yang single dan belum menikah di usia 24 tahun itu mungkin masih wajar-wajar saja. Tapi sayangnya, Ibu Mulyana Asiz bukan bagian dari kelompok orang-orang yang berpikir sesederhana itu. Bagj Ibu Mulyana, belum menikah di usia 20-an berarti adalah bencana sekaligus aib bagi keluarga.

Ibu Mulyana Asiz adalah pencetus ideologi kawin di usia20-an menjamin kebahagiaan, kesejahteraan dan terlepas dari nyinyiran tetangga. Makanya, Ibu Mulyana Asiz alias mamaku, sering kali mengoceh tentang status single-ku ini. Disebutnya aku terlalu cerewetlah, aku terlalu pemilihlah, aku terlalu sibuklah sampai tak punya cukup waktu bahkan sekadar untuk menemukan calon pendamping yang menurutnya bukanlah hal sulit.

Dan alasan yang paling membuat aku naik pitam adalah mama bilang status single-ku ini penyebabnya adalah karena aku belum bisa move on dari Vino, pacarku yang meninggal 3 tahun yang lalu.

Hei! Jangan percaya Mamaku atau kalian termasuk golongan orang-orang musyrik. Sumpah! Aku sudah sepenuhnya move on. 3 tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan seseorang yang aku pacari dalam waktu singkat. Okay?

Bagiku menjadi wanita single itu bukan hal yang perlu membuatku malu ke luar rumah tapi bagi Mamaku, kesendirianku ini adalah aib besar keluarga.

Iya, serempong itulah Mamaku. Mampu mencari pasangan sendiri terdengar seperti alasan klasik di telinga Mama. Makanya Mama merasa perlu membantuku menemukan kandidat dengan menjodohkan aku dengan anak temannya yang meskipun aku tolak tapi otak Mama selalu punya banyak cara untuk menjebakku bertemu dengan pangeran-pangeran pilihannya.

Namun nyatanya sebutan pangeran terlalu berlebihan untuk ukuran mereka yang hanya mengandalkan tampang dan harta tapi otaknya kosong alias zonk. Dari sekian banyak kandidat yang sudah bertemu denganku, tak ada satu pun yang bisa setidaknya disebut normal untuk dijadikan pasangan hidup. Selain sedap dipandang, tak ada lagi yang bisa kunilai dari mereka.

Sebagai perempuan yang terlahir biasa saja. Cantik tidak, kaya pun tidak, aku tidak cari yang muluk-muluk. Minimal memenuhi setidaknya 2 dari beberapa kriteriaku. Smart, mapan dan tampan. Kalaupun tidak terlalu smart minimal dia harus lulus S1, karena menurut aku pendidikan itu penting. Percuma tampang oke tapi tidak berpendidikan.

Meski tidak mapan tapi setidaknya punya rumah meskipun masih kredit. Dan yang tak kalah penting adalah dia punya penghasilan tetap biar bisa menafkahiku dan anak-anak kami yang lucu kelak.

Dan kalau tidak tampan, setidaknya dia tidak malu-maluin kalau diajak pergi kondangan. Tapi jangan yang tampangnya bisa bikin orang lari terbirit karena aku harus memperbaiki keturunan atau minimal mempertahankan keturunan.

Tapi bicara masalah pasangan hidup. Aku bukannya sampai se-miserable itu sampai pasangan hidup saja dicarikan oleh mama. Setiap kali mama mengungkit masalah sensitif itu, harga diri dan martabat aku sebagai wanita merasa direndahkan dan egoku seakan terinjak dan tidak ada nilainya lagi.

Tapi usaha mamaku memang patut diacungi jempol kaki karena walau anak gadisnya tidak menghargai usahanya, mama tetaplah aktif mencarikanku kandidat dari berbagai jenis pekerjaan. Anak perempuannya ini sudah seperti barang jualan yang ditawarkan di mana-mana. Memang ada yang masuk perangkapnya mama mulai dari dokter, pengusaha batu bara, pengacara, banker, sampai sales obat herbal juga ada, tapi tidak ada yang lolos seleksiku.

Dan baru-baru ini aku bertemu dengan anak teman mama yang katanya celebrity chef. Mama bilang dia macho dan gentleman tapi yang membuat lucy adalah laki-laki macho nan gentleman itu menangis tersedu-sedu hanya karena melihat ikan tuna bakar pesanan kami terhidang di atas meja di pertemuan pertama kami.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang