Lima Belas

4.2K 435 21
                                    

Baru kali ini aku mengalami patah hati bahkan sebelum aku memulai sebuah hubungan. Sebagai perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri tanpa gelar 'pacar orang', tentulah patah hati tidak cukup familiar bagiku.

Aku hanya 2 kali menjalin hubungan dengan laki-laki. Pertama, ketika aku masih duduk di bangku SMA kelas dua. Ketika, teman-teman sekelasku masih menganggap bahwa punya pacar itu amat keren dan perlu dibanggakan, apa lagi kalau pacaran sama anak klub basket. Yang kedua dan yang terakhir adalah Vino, pacarku yang meninggal karena kecelakaan tiga tahun yang lalu.

Dengan Mario, pacar pertamaku, aku tidak merasakan sakit hati ketika diputuskan olehnya. Iya, dia yang memutuskanku setelah hubungan kami berjalan 4 bulan. Karena alasan aku malas diajak keluar ke mana-mana.

Sebenarnya aku malu dan merasa bodoh mengingat kenapa Mario bisa menjadi pacarku.

Dulu, Mario menyukai cewek lain dari kelas sebelah. Mario mengungkapkan perasaannya tapi sayangnya ditolak. Lalu dua hari kemudian, Mario menembakku.

Karena Mario tidak buruk-buruk amat dan aku juga prihatin jika dia harus ditolak oleh dua cewek dalam 3 hari, tidak kebayang bagaimana malunya Mario kalau anak-anak satu sekolah tahu, makanya aku berbaik hati menerimanya. Lumayanlah buat memutus status jomblo. Lagi pula dia anggota klub basket yang lumayan cakep.

Kalau dengan Vino, mungkin tidak bisa disebut patah hati. Vino menyukaiku dan aku juga menyukainya. Tapi sama-sama suka bukan syarat mutlak jodoh. Vino meninggal di usianya yang ke 21 tahun. Dan aku harus melanjutkan hidup tanpa Vino.

Vino itu terlalu baik untuk jadi manusia, makanya dia diberi hadiah tinggal di tempat yang lebih indah daripada bumi.

Dan di umurku yang hampir seperempat abad ini, Pak Wira-lah yang justru mengajarkanku rasanya patah hati, dipermainkan dan dibodohi. Campur aduk pokokmya. Memberiku harapan, dan juga rasa sakit di saat yang sama.

"Lo serius baik-baik aja dek?" Mas Defri menatapku khawatir. Sepulang dari RS, aku langsung memesan ojek online menuju apartemen Mas Def. Aku tiduran di sofa sambil bermain ponsel. Tapi rupanya Mas Defri lebih cepat pulang ke apartemen dari pada biasanya.

"Baik kok, Mas. Aku datang ke sini biar nggak sendirian di rumah." Jawabku dengan mata setengah tertutup.

Papa dan Mama masih di Bogor, dan aku tidak punya keberanian yang cukup untuk tidur sendirian di rumah malam-malam dengan kondisi hati yang patah.

"Gue ngomongin lo sama Wira." Mas Def mengambil tempat di sisiku. Aku sontak membuka mata.

"Pak Wira, dia lebih tua 5 tahun dari Mas Def loh." Ralatku mendengar Mas Def memanggil Wira tanpa embel-embel meski tak digubris Mas Def. "Lagian kenapa tiba-tiba ngungkit Pak Wira?" Balasku sewot.

"Kirain. Soalnya dari tadi dia nanyain lo mulu. Katanya nomor lo nggak aktif padahal gue telpon lo percobaan pertama nyambung kok." Balas Mas Def.

Ya iyalah tidak bisa tembus orang nomor Pak Wira aku blok lagi. Aku semakin pusing mendengar notif dari orang yang sama sekaligus orang pertama yang paling aku hindari di planet ini.

Memblokir nomor Pak Wira menjadi langkah yang tepat bagiku saat ini.

"Mas Def ngomong sama Pak Wira kalau aku di sini?" Tanyaku, kali ini menatap Mas Def.

Mas Def menggeleng.

"Nggak lah dek. Gue tahu sekarang lo lagi sembunyi dari Wira makanya kabur ke sini." Mas Def masih melanjutkan. "Anak kecil suka gituh yah, kabur-kaburan kalau lagi ada masalah. Nggak tahu apa kalau gue yang ribet ditanyain mulu, nggak tahu mau jawab apa. Bilang yang sebenarnya takut adik yang cerewet ini marah dan makin ngambek, kalau ketahuan bohong sama Wira, proyek triliunan gue bisa melayang."

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang