Dua Belas

4.3K 453 5
                                    

Special

Hari kedua di Bali, aku berharap bisa menghabiskan masa gathering dengan bahagia. Makanya aku sudah menyusun rencana agar anak-anak KingSoft tidak menelantarkanku lagi.

Aku bangun kelewat pagi, memaksa mataku terbuka lebar walau menahan kantuk rasanya nyaris mati. Bahkan sebelum Mbak Tina bangun, aku sudah siap dengan tas selempangku.

Aku bahkan menghampiri kamar abang-abang kurang belaian dan membuat rusuh kamar mereka. Aku anggap itu sebagai pembalasan dendam karena sudah meninggalkanku kemarin tanpa perasaan.

Asal tahu saja, kemarin Pak Wira tidak tanggung-tanggung mengelilingi Ubud sampai jam 9 lamanya. Sesampaiku di hotel, aku sudah menemukan Mbak Tina tertidur dengan damai. Mereka pasti bersenang-senang tanpaku dan melupakan aku.

Bayangkan, mereka bahkan tidak pernah menghubungiku seharian dan tidak khawatir saat aku belum kembali ke hotel saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sahabat macam apa mereka?

"Ello kan pergi sama Pak Wira, ngapain kita khawatir? Gue malah seneng kalau lo nggak pulang malam ini." Katanya dengan mata mengedip. Buset.

"Gue matiin juga lo, Mbak, lama-lama." Desisku tapi dia malah cekikikan.

Rasanya aku mau menjambak rambutnya dan meneriakinya, "Bukan liburan kayak gini yang gue mau."

Tapi nyatanya Pak Wira masih harus menjalankan misi membuat Eriana sebal. Hari pertama mengganggu liburan kami masih bisa aku maklumi tapi jika Pak Wira masih mau melanjutkan misi rahasianya, langkahi dulu mayatku.

Sudah kutebak kalau kedatangannya ke Bali bukan untuk pekerjaan melihat dia terlalu banyak membuang waktu menghancurkan liburanku dengan anak-anak KingSoft. Dia mirip seperti ahli stalker yang mengintai diam-diam dan selalu punya cara untuk menemukanku.

Jadi, turun dari kamar, kami berlima menjumpai Pak Wira yang tengah menerima telpon sambil duduk di salah satu kursi resto. Meski wajahnya kesal saat berbicara di telepon. Namun dia langsung tersenyum lalu meletakkan ponselnya di meja setelah mendapati Bang Deni yang mengambil tempat duduk di meja yang sama dengannya.

Sebelum Mbak Tina mengikuti langkah Bang Deni, aku menariknya dan memaksanya duduk di meja yang terpisah dengannya. Tapi Mbak Tina memang susah diatur, dia melepaskan cekalan tanganku dan ikutan Bang Deni duduk di meja Pak Wira.

Dan sejak kapan Bang Wawan sudah duduk di sana dan bertingkah sok ken? Aku heran kenapa semua orang simpati dengan Pak Wira dan tiba-tiba mengabaikanku. Aish. Orang kaya memang diperlakukan beda.

"Ri, sekalian duduk di sini aja." Ajaknya menunjuk sisa kursi yang masih kosong tepat di sampingnnya.

Tapi aku malah menarik Bang Haris yang belakangan muncul dengan mata yang masih setengah tertutup karena kupaksa bangun pagi. Bang Haris menurut saja aku tarik menuju meja yang terpisah dengan Pak Wira.

"Saya sama Bang Haris aja, Pak. Kayaknya di sana lebih adem." Kataku dan aku merasa menang selangkah melihat ekspresi kecewa Pak Wira yang berusaha dia sembunyikan.

Dia kelihatan mau mengatakan sesuatu tapi Bang Wawan keburu angkat bicara sekadar basa-basi dengannya. Bang Wawan nampaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan bertemu langsung dengan boss PieM, mungkin dia berharap Pak Wira bisa menjadi investor untuk perusahaan yang katanya akan dia rintis dalam waktu dekat.

Tapi Bang Wawan memang konservatif, dia menolak resign jika bisnis barunya belum menunjukkan hasil maksimal.

"Lo berantem lagi sama dia?"

Bang Haris menyerup kopinya santai. Ekor matanya menunjuk ke arah belakang punggungku, arah meja Pak Wira dan yang lain yang hanya dipisahkan dua meja saja.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang