Delapan

4.5K 506 31
                                    


Shocking Sunday

Kalau ada yang bertanya kapan hari terindah dalam hidupku maka aku akan menjawab dengan lantang, "hari Minggu di mana aku bisa bebas tidur di kasurku tanpa satu orang-pun yang menerorku dengan deadline pekerjaan yang beruntun."

Dan kalau bukan karena suara ribut-ribut Mas Defri yang kedengaran sampai lantai dua kamarku, aku tidak akan rela bangun di jam 9 di hari Minggu hanya untuk disuruh beli bahan makanan di mini market.

Aku itu malas bangun cepat kalau hari Minggu, biasanya bangun pas Masjid kompleks mengumandangkan adzan duhur. Mandinya nanti agak soren. Tapi suara Mas Def sudah mirip tarzan yang kelaparan minta makan dan gendang telingaku rasanya mau pecah mendengar suara gedoran pintu.

Papa dan Mama pergi ke Bogor sejak kemarin karena tiba-tiba mendengar kabar kalau Oma Restu, adik nenek dari Mama masuk rumah sakit. Ini kabar yang cukup mengejutkan pasalnya di hari nikahan Mas Aldo, aku masih sempat bertegur sapa dengannya dan saat itu Oma Restu kelihatan baik-baik saja.

"Cepetan, dek! Ini gue udah lapar banget." Keluhnya sambil duduk di kursi rotan yang ia angkat dari taman belakang. Peluh keringatnya berceceran dari dahinya di bawah terik matahari pagi.

Mas Defri kelihatan capek sekali sehabis mengangkut batu koral, pasir dan semen dari gudang belakang rumah. Rencananya hari ini Mas Defri mau merenovasi taman bunga atas permintaan Mama. Mama meminta Mas Defri memasang garden path di mana sisi kanan dan kirinya sudah ditanam bunga-bunga berbagai jenis oleh Mama sendiri.

Bagian yang akan dipasangi garden path sebelumnya sudah aku bersihkan jauh-jauh hari atas perintah Mama. Rerumputan yang tumbuh sudah aku cabut dan bebatuan kecilnya sudah aku singkirkan.

Mama selalu membanggakan punya anak arsitek yang bisa dia minta untuk melakukan proyek-proyek kecil seperti ini walau Mas Defri  lebih memprioritaskan proyek besar yang nyatanya lebih memberinya keuntungan materi.

Tapi meskipun begitu, baru sekarang ini Mas Defri punya waktu luang merealisasikan proyek taman Mama karena sebagai arsitek yang tiap tahunnya punya proyek-proyek besar yang harus didahulukan, Mas Defri sampai jarang punya waktu bahkan untuk sekedar pulang menengok papa dan mama.

Mas Defri lebih sering menginap di apartemen dekat kantornya yang berlokasi di Thamrin yang juga lumayan dekat dari gedung kantorku.

Jadi, dengan alasan tidak ada yang menemaniku di rumah karena Papa dan Mama pergi ke Bogor, akhirnya Mas Defri pulang ke rumah dan sekalian mengerjakan proyek taman Mama yang sudah tertunda cukup lama.

Sibuk memilah-milah daging segar di supermarket, aku dikejutkan dengan tepukan pelan di bahuku. Membalikkan badan aku menemukan Pak Wira seperti biasa dengan kemeja kebangsaan yang kancingnya tidak terpasang, bawahan jeans berwarna pudar dan sepatu loafers.

"Emang tukang service laptop bisa masak?"
Pak Wira menatapku sambil nyengir seperti meremehkanku.

Aku bukannya pintar masak, tapi setidaknya bisalah masak makanan simple yang tidak banyak detailnya. Tapi aku tidak punya kewajiban menjelaskan itu kepada Pak Wira. Mood-ku belum pulih sepenuhnya karena penyiksaan Mas Defri di hari yang seharusnya menjadi hari kemerdekaan bagi budak korporat sepertiku.

"Malah diam. Gue ngomong sama lo!" Ujarnya dengan gaya cuek tapi kepo khasnya.

Hanya perasaanku saja atau memang kulit Pak Wira agak gelapan sedikit? Rambutnya juga sedikit lebih panjang dari kali terakhir aku bertemu dengannya, yaitu saat dia mengantarku ke kontrakan Bang Haris. Nyaris satu minggu yang lalu.

"Lo sebenarnya ada dendam atau apa sama gue? Jutek banget." Keluhnya.

Memangnya aku sejutek itu yah? Padahal aku hanya tidak ingin dikira sok kenal dengan Pak Wira yang notabenya klien pentingku. Mana dia ikut-ikutan memanggilku tukang service laptop seperti Mama.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang