Empat

5K 502 14
                                    

Meet Again

Boss PieM : Jadi gimana? Hari Minggu bisa?

Aku membaca pesan yang dikirim oleh Pak Wira. Saat Briefing pertama kali kami tidak sempat bertukar nomor telepon, Bang Deni yang mengirimkan nomorku kepada Pak Wira. Tapi ada 7 banyaknya hari dalam seminggu kenapa harus di hari Minggu? Hari itu adalah hari berharga bagi kacung sepertiku.

Secara, hari minggu adalah hari yang khusus kami gunakan untuk bersantai di rumah setelah berjibaku dengan yang namanya pekerjaan selama weekday dan Pak Wira malah memintaku untuk menunjukkan bentukan kasar website dan mobile application di hari minggu? Big no.

Me : Hari minggu banget nih, Pak? Bisa reschedule nggak soalnya saya ada janji lain hari itu.

Iya, aku ada janji tidur sama kasur dan selimutku yang hangat. Aku tidak akan membiarkan waktu istirahatku di hari Minggu di renggut paksa oleh bos siapa pun itu.

Boss PieM : Terserah ello deh jam berapa soalnya saya cuma free hari itu doang. Malam juga nggak apa-apa kok.

Tuh kan. Dia memaksa sekali. Mentang-mentang dia boss dan aku ada di pihak yang butuh pekerjaan, dia malah semaunya saja menentukan waktu. Aku juga mau kepentingan aku dipertimbangkan. Aku tidak mau hari liburku dipakai bekerja

Boss PieM : Mau yah? Gue mau tau perkembangannya gimana biar nanti apa yang kurang atau perlu diperbaiki bisa secepatnya di handle. Gue harus memasarkan tower ini secepat mungkin karena masih ada proyek yang harus jalan lagi.

Bos memang selalu benar dan kacung selalu salah. Kalimat itu selalu benar dan tidak terbantahkan bahkan mulai dari zaman dinosauraus sampai jaman now. Aku cuman bisa mengiyakan walaupun masih ada rasa tidak rela. Aku menutup chatroomku dengan Pak Wira lalu menghubungi Mbak Tina.

"Mbak, temenin gue ketemu Boss PieM yah?"

"Mau. Mau banget. Kapan? Sekarang? Ya udah gue ganti baju dulu."

"Bukan sekarang, hari Minggu nanti, Mbak." Aku mendengus. "Heran gue, semangat banget lo mau ketemu boss PieM, bukannya kesal karena dia dengan lancang nyuruh kerja bahkan di hari libur."

Mbak Tina terkekeh. "Iya dong, Ri. Ini Dwira Permana loh, produser film yang pernah...."

Bla bla bla... aku cuman pura-pura mendengar padahal mulutku sibuk komat kamit tanpa suara. Kalau membicarakan tentang Pak Wira, Mbak Tina akan kembali mengungkit prestasi-prestasi Pak Wira yang pernah memenangi piala Oscar lah, ini-lah, itu-lah. Padahal mah, bodoh amat. Bukan urusanku. Yang jelas Dwira itu sudah membuatku kesal.

"Oke, mending kita pergi nonton aja yuk. Malas nih gue di rumah terus."

"Lo gimana sih, Ri? Di kantor mulu, ngeluh, giliran di rumah seharian masih ngeluh juga. Banyak ngeluh banget si lo, Ri. Nggak ada syukur banget." Tumben sekali Mbak Tina berceramah yang baik-baik. Biasanya dia yang paling banyak mengeluhnya dibanding aku.

"Jadi mau nggak nih? Kalau nggak gue pergi sendiri aja." Balasku pura-pura ngambek padahal aku tahu Mbak Tina tidak akan menolak ajakanku.

Aku pernah bilang kan kalau aku dan Mbak Tina adalah bestfriend yang jonesnya tidak tertolong. Dia tidak akan membiarkanku pergi nonton sendirian kalau memang Mbak Tina tidak punya acara penting.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang