Lima

5K 493 22
                                    

Accidentally Meeting You

The real kejutan adalah menemukan Pak Wira di tempat yang paling tidak mungkin di antara luasnya dan banyaknya penduduk Jakarta.

Saat aku sedang asik menikmati me time, menonton film di GI sambil makan popcorn kesukaanku, aku menemukan Pak Wira tengah masuk bioskop sambil menunduk agar tidak menghalangi pandangan penonton lain. Studio memang gelap namun aku masih bisa mengenali wajah beserta kemeja flanelnya.

Aku lantas merundukkan kepala lalu menutup wajahku dengan cup soda, menyesal kenapa sore ini aku mencepol rambut. Mungkin kalau aku urai bisa kumanfaatkan untuk menutupi wajah. Aku tidak mau kelihatan oleh Pak Wira, nonton sendirian.

Padahalkan aku memang mau sendirian saja. Menghabiskan waktu dengan bersenang-senang setelah bekerja dan rebahan sudah membosankan dan tidak nyaman lagi. Jarang-jarang juga aku me time, biasanya juga nonton sama Mbak Tina kalau lagi gabut.

"Nggak usah ngumpet, gue udah liat lo."
Terlambat, Pak Wira sudah duduk di kursi tepat di sampingku.

Aku lantas bersikap normal dan menyunggingkan senyum tipis sebelum sadar akan sesuatu. Dia duduk di kursi milikku. Aku memang punya kebiasaan membeli tiga tiket karena tidak suka saat orang asing duduk didekatku apa lagi orang yang menjadikan bioskop sebagai tempat pacaran.

"Pak Wira ngapain duduk di situ?" Tanyaku menunjuk tempat yang ia duduki.

"Mau nonton lah, ya kali mau mandi."

"Saya tahu, tapi maksud saya masih banyak kursi lain, ngapain duduk di situ?" Tunjukku ke sekitar memperlihatkan masih banyak kursi kosong lainnya.

"Emangnya kenapa? Kosong juga kan?" Jawabnya enteng. Ini beneran Pak Wira-kan? Yang aku temui beberapa kali? Di lihat dari kemeja flanel dan jeans pudarnya kayaknya memang dia. Tapi kenapa Pak Wira yang ini malah lebih menjengkelkan dari pada Pak Wira waktu itu yang membuatku sibuk di hari Minggu?

"Kursi ini sudah saya booking jadi nggak ada yang boleh duduk di sini. Termasuk Bapak." Jelasku masih berusaha bicara baik-baik.

Tapi bukannya minggat, dia malah menatapku sambil menggaruk hidungnya.

"Lo ditinggal teman nonton lo atau dia nolak datang nemenin?" Katanya. "Ya udah sih. Dari pada nonton sendiri, mendingan sama gue biar nggak kelihatan jones banget."

"Kayak lo nggak datang sendiri aja." Aku ingin meneriakkan kalimat itu di telinganya. Tapi aku hanya bisa berteriak dalam bisu. Aku tidak membalasnya. Lagi pula kenapa aku harus seberlebihan ini cuma karena masalah kursi.

Dia akhirnya fokus memperhatikan layar yang menampilkan wanita muda yang tengah berlari diatas trademill, sedang diet ketat karena bobot tubuhnya mencapai 90 kilo.

"Do you like that type of movie?"

"Hah?"

Aku tidak yakin apakah Pak Wira berbicara denganku atau bukan pasalnya matanya menatap ke layar besar di depan kami. Dan aku baru saja seperti mendengar native speaker bicara. Aksen British-nya sangat kental.

"Terakhir kali gue nonton film Indonesia adalah ketika gue SMA, sekitar 14 tahun yang lalu. Dan sampai sekarang gue nggak bisa tahu alasan mereka untuk apa sebenarnya film itu dibuat? Mereka memproduksi film massal dengan tema moral yang berulang-ulang, artinya dengan pesan moral yang itu-itu aja. Tapi mau dibilang apa kalau memang orientasi produser yah hanya untuk keuntungan semata." Ocehnya yang sama sekali tidak kumengerti maksudnya mengatakan itu kepadaku.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang