Tiga Belas

3.8K 400 11
                                    

Bogor

Oma Restu adalah kakak dari nenekku, dan aku cukup dekat dengan Oma Restu karena aku pernah diasuh olehnya selama kurang lebih satu tahun ketika aku masih SD.

Nenekku-ibu dari Mama sudah lama meninggal, bahkan sebelum Mas Defri lahir padahal nenek jauh lebih muda daripada Oma Restu. Tapi yang namanya kematian tidak mengenal siapa yang lebih tua atau muda. Umur bukan sesuatu yang bisa manusia kontrol.

Sampai di Bogor, kediaman Tante Meli sudah dipenuhi dengan pelayat. Jenazah almarhumah Oma Restu akan dikuburkan hari ini yang juga mengikuti kemauan Tante Meli sendiri.

Aldo yang pertama kali melihatku turun dari mobil menggiringku masuk untuk melihat Oma Restu untuk yang terakhir kalinya. Mama dan Papa ikut memelukku saat melihatku berlinang air mata. Aku bahkan sejenak melupakan sosok laki-laki yang sudah berjasa mengantarku sampai di sini dengan selamat.

Dia Pak Wira, yang saat ini tengah duduk bergabung dengan para pelayat yang lainnya.

Kalian pasti penasaran bagaimana kronologi sampai Pak Wira ada di sini sekarang, tempat di mana semua keluarga besar Mamaku berkumpul dan sayangnya bukan dalam nuansa bahagia.

Jadi, tepat setelah aku menutup telpon Mas Defri, aku mendapati mobil Pak Wira yang berhenti di depan rumahku. Tanpa mengatakan sepatah kata, ia mengambil alih koperku dan memasukkannya ke dalam bagasi.

"Yuk!"

"Mau kemana, Pak?" Aku masih mencerna. Aku butuh waktu beberapa menit untuk berpikir kenapa Pak Wira bisa ada di depan rumahku.

"Bogor. I'll drive you. Defri masih di Bandung, katanya nanti dia nyusul kalau kerjaannya sudah selesai." Katanya singkat sambil membukakan pintu mobil untukku.

"Mas Defri yang minta Bapak ngantar saya?"

Dia diam.

Mas Defri tidak ada bilang kalau akan meminta Pak Wira mengantarku. Dia hanya bilang bahwa dia akan cari cara supaya aku bisa sampai di Bogor sebelum malam. Dia bahkan tidak bilang bahwa sekarang dia ada di Bandung. Walaupun enggan merepotkan Pak Wira, namun akhirnya aku juga patuh dari pada naik taksi ke Bogor.

Tapi setelah sampai dengan selamat, kukira dia akan kembali ke Jakarta. Tapi Pak Wira malah mengikutiku masuk rumah. Sampai-sampai dia ikutan membawa keranda jenazah Oma Restu ke pemakaman kompleks.

Dan itu berhasil menarik perhatian keluarga besar yang penasaran dengan kehadiran sosok Pak Wira. Aku yakin mengantar jenazah adalah hal baru bagi Pak Wira, dia itu setengah bule setengah lokal. Mana paham dia dengan budaya Indonesia setelah merantau selama belasan tahun di luar negeri.

Tapi memang dianya saja yang sok-sokaan mau pamer atau karena tidak enak menolak ajakan Mas Defri. Pokoknya, kalau sampai malam ini Pak Wira belum pulang, aku akan usir dengan paksa.

Setelah shalat Maghrib, tanganku gatal mau menyeret Pak Wira keluar rumah dan mengusirnya tapi karena kehadiran Tito bersamanya, aku menunggu sampai Tito menyingkir.

Tito adalah anak bungsu Tante Meli yang baru SMA. Aku langsung bersemangat dan mengambil tempat di samping Pak Wira setelah mengamati bahwa ruang tengah hanya sisa kami berdua. Tito entah pergi ke mana. Mama dan tante-tanteku ada di dapur sedangkan suami-suami mereka berkumpul di ruang tamu, menunggu jamaat untuk pengajian.

"Bapak nggak pulang?" Kataku nyaris seperti berbisik.

"Kamu ngusir aku?" Tanyanya dengan kening mengerut.

Iya. Memangnya kalimat saya kurang jelas? Mumpung Mas Defri sedang mandi di kamar mandi atas, aku harus memastikan Pak Wira kembali ke Jakarta sebelum Mas Defri turun. Harus.

Love Developer (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang