Chapter 7

566 42 32
                                    

Dinda meringis menahan perih di seluruh tubuhnya terlebih pada area kewanitaan miliknya. Dia benar-benar menghabisinya—hingga membuat tubuhnya remuk seperti ini, ia berjalan memegangi dinding kamarnya.

Berjalan pelan pun bener-bener terasa nyeri apalagi pada area selangkangan miliknya. Entah kenapa ia merasakan perbedaan pada perut miliknya, sekarang perutnya terasa besar bahkan porsi makan pun bisa dibilang exstra jumbo—dan anehnya lagi sekarang ia tidak benci pada buah strawberry malah ia menyukainya—yang asem-asem tapi bikin  ketagihan.

Ia berjalan kearah kulkas—membukanya dan mengambil strawberry dan duduk di depan meja makan. "Seger." Guman Dinda sambil memakan buah kecil berwarna merah yang ada di tangannya.

Ia mengusap perutnya yang terasa buncit. "Sekarang aku gendut ya, mungkin aku banyak makan jadi berat badanku naik." Ujar Dinda—matanya menerawang ke depan dimana perlakuan Rayn kemarin. Dimana dia menjamaah tubuh miliknya secara kasar hingga menimbulkan biru-biru lembab hampir seluruh tubuhnya. Bahkan bibirnya bengkak akibat gigi Rayn yang mengigit bibir bawahnya.

Matanya mulai berkaca-kaca saat mengingatnya. "Rayn, kenapa lo lakuin ini ke gue. Lo tau nggak si gue kesakitan akibat perlakuan lo—kenapa kemarin lo bertindak kayak monster. Lo tau seluruh tubuh gue sakit, lagi-lagi gue terluka semua karna lo. Gue pingin berhenti tapi kenapa sulit banget buat gue." Batin Dinda.

Rayn yang baru saja pulang menatap Dinda yang duduk di depan meja makan dengan mata yang berkaca-kaca—ada perasaan bersalah akibat emosi semalam—Dinda menjadi pelampiasan kemarahannya. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk berlaku kasar padanya tapi melihat Dinda dan Daniel, emosinya seketika memuncak tanpa bisa ia kontrol.

Semalam ia menginap dirumah Alan—teman satu kampusnya. Akibat perlakuannya kemarin dari semalam ia tidak bisa tidur memikirkan perlakuannya terhadap Dinda yang keterlaluan. Ia menghela nafas dan menghampiri Dinda, semoga dia memaafkan kekhilafan yang telah ia lakukan.

"Dinda." Ucap Rayn pelan sambil mengelus rambut Dinda—namun Dinda menepis tangannya ketika tau sekarang ia yang berdiri disampingnya.

"Gue ngaku salah. Gue minta maaf." Ucap  Rayn dengan penuh penyesalan. Andai saja ia bisa mengontrol diri mungkin ini tidak akan terjadi tapi sayangnya nasi sudah menjadi bubur—tidak bisa mengubah yang sudah terjadi kecuali menyisakan penyesalan yang teramat.

Dinda terdiam tanpa menoleh kearah Rayn. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan dengan tertatih-tatih—saat ia ingin terjatuh Rayn menahan tubuhnya agar tidak terjatuh tapi dengan kasar ia menepis tangannya. "Maafin gue." Ucap Rayn merasa bersalah—ia tidak suka jika Dinda mendiamkannya seperti ini, ia lebih suka Dinda yang banyak bicara.

Dinda terus berjalan sambil memegangi dinding—ia mengacuhkan Rayn bahkan tanpa menoleh sedikitpun.

Rayn mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Ia tidak suka diabaikan seperti ini, ia menatap Dinda berjalan tertatih tanpa menoleh atau pun menjawab apa yang ia katakan.

Ia berjalan kearah Dinda dan menggendong tubuhnya—membantu Dinda agar cepat sampai di kamar.

Tentu saja hal itu membuat Dinda memberontak ingin turun tapi Rayn tetep kekeh mempertahankan Dinda digendongan kedua tangannya. "Gue bantu." Ucap Rayn menatap Dinda—tapi dia malah memalingkan tatapannya.

Akhirnya Dinda terdiam membiarkan Rayn menggendong tubuhnya. "Aneh, kok berat badan lo jadi berat gini." Ucap Rayn—setengah meledek. Namun Dinda hanya terdiam membiarkan tanpa menanggapi.

Sungguh, ia tidak suka dengan keadaan ini. Ia menaruh Dinda diatas ranjang—menyelimutinya dan duduk di atas ranjang samping perempuannya. "Gue minta maaf. Gue bener-bener menyesal." Ucap Rayn sambil memegang tangan Dinda. Namun lagi-lagi dia menepis tangannya.

"Gue mau tidur. Jadi gue mohon jangan ganggu gue." Ucap Dinda ketus—ia membalikan tubuhnya dan membelakangi Rayn.

Kekecewaan pada Rayn begitu besar ia tidak mungkin secepat itu memaafkan.

Rayn begitu menyesalinya—gara-gara perlakuannya sekarang Dinda mengabaikannya, sungguh rasanya tidak enak sekali di abaikan seperti itu.

Ia terbaring disamping Dinda—menatap punggung itu yang membelakanginya—ia merindukan Dinda yang tidak mendiamkannya.

"Gue minta maaf." Bisik Rayn sambil mendekati Dinda dan memeluk tubuhnya dari belakang.

***

Din. Gue boleh tanya nggak, siapa Rayn? Apa hubungan lo sama dia. Lo tau nggak gue nggak suka liat lo sama dia.

Send.

Ia menunggu balasan Dinda.

1 jam ..

2 jam ..

Namun tak kunjung balasan dari Dinda. Ia makin penasaran dengan hubungan yang terjalin diantara keduanya. Semoga hubungan keduanya hanya sebatas teman—tidak lebih atau pun spesial.

Karena ia masih berharap bahwa Dinda akan menjadi pacarnya.

***

Ia terbangun ketika merasakan perutnya yang terasa kram bahkan—ia merasakan area intimnya terasa lembam, ia membuka selimutnya—darah, matanya membulat melihat hal itu.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku." Guman Dinda terkejut melihatnya—ia membangunkan Rayn.

"Rayn bangun, gue pendarahan." Ucap Dinda dengan tubuh yang gemetar.

"Rayn bangun,"

Rayn membuka matanya dan terkejut melihat tubuh Dinda yang gemetar—sambil menangis. "Lo kenapa?" Rayn langsung terbangun dan memegang tangan.

"Rayn. Gue pendarahan." Mata Rayn membulat sambil membuka selimbut Dinda.

Ada darah yang keluar dari daerah intimnya—ia terkejut dan langsung loncat dari ranjang dan menghampiri Dinda, tanpa pikir panjang ia mengangkat tubuh Dinda.

Ia akan membawa Dinda ke Rumah sakit. Untuk mengetahui apa yang terjadi pada Dinda.

***

TBC!

Selasa 08 September 2020

Coba tebak Dinda kenapa?

Dan tebak juga gimana hubungan mereka kedepannya?

 Sleep FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang