Chapter 3

784 46 33
                                    






Rayn menatap foto perempuan yang masih sangat ia cintai—Ranty Maria. Begitu sulit melupakan dia, walaupun sudah dua tahun dia pergi tapi tetap saja hatinya masih terbawa dia yang telah pergi jauh.

Waktu ia ditinggalkan Ranty—ia begitu kacau, ia hanya bisa melamun membayangkan semua kenangan yang telah terlewati. Tidak makan, tidak minum bahkan tidak mandi yang ada dipikirannya saat itu hanya Ranty dan Ranty.

Ia begitu mencintainya. Sangat ...

Disaat ia terus memikirkan Ranty—ada Dinda yang selalu menemaninya dan menyemangatinya agar ia bisa bangkit dari keterpurukan—dia selalu ada dalam keadaan apapun, segala masalah akan ia ceritakan pada Dinda.

Mungkin Dinda adalah tempat ternyaman untuk berbagi keluh kesah nya.

Selama kepergiaan Ranty. Dinda selalu menemaninya bahkan dia mau menjadi teman tidur tanpa ada hubungan spesial apapun diantara keduanya.

Ia tidak bisa menjanjikan hal istimewa untuk Dinda—karena ia mengganggap itu hanya untuk kesenangan.

Menurutnya sex mampu mengalihkan semuanya terutama diatas rasa sakit ditinggal seseorang yang sangat ia cintai.

Dinda—memberikan kesuciannya untuk dirinya tanpa imbalan apapun.

Entah apa alasannya—kenapa Dinda bisa memberikan hal itu dengan cuma-cuma.

Tapi yang pasti dengan adanya Dinda, sedikit demi sedikit ia tidak mengingat Ranty, walaupun rasa cinta miliknya tetap sama.

Rasa nyaman itu ada saat bersama Dinda.

Entah itu ..

Terbiasa,

Atau ..

Pengalihan semata.

***

Dinda merasakan pusing luar biasa—tubuhnya hampir saja tumbang jika Rayn tidak menahan tubuhnya.

"Lo nggak papa?" Tanya Rayn mengangkat tubuh miliknya dan menidurkan Dinda diatas ranjang.

"Nggak."

"Nggak papa gimana tadi lo hampir aja jatuh." Gerutu Rayn. Duduk disamping Dinda dan memijit pelipisnya.

"Maaf. Gue jadi repotin lo." Ucap Dinda lemas. Entah kenapa kepalanya mendadak pusing. Padahal kemarin ia baik-baik saja.

"Kayak ke siapa aja lo pake bilang gitu. Lo inget kan kita ini teman. Waktu gue sakit lo ngerawat gue, masa lo sakit gue biarin." Ucap Rayn sambil terus memijit pelipis Dinda.

Dinda menatap Rayn yang telaten memijitnya—sungguh ia sangat mencintai Rayn. Keterbiasaan dan kebersamaan membuat pikirannya tertuju hanya pada Rayn.

Bolehkan ia berharap jika Rayn juga mempunyai perasaan yang sama?

Memendam perasaan selama 2 tahun bukanlah hal yang mudah baginya. Ia harus menampilkan raut biasa jika Rayn menceritakan semua kisahnya bersama Ranty.

Ia harus terlihat antusias ketika Rayn menceritakan betapa cintanya dia pada Ranty—padahal dari dalam lubuk hatinya ia hancur.

Harusnya ia berhenti—jika ia tersakiti tapi ia tidak bisa—nyatanya perasaan ini sudah terlanjur dalam.

"Gue mau minum." Ucap Dinda mencoba bangun namun tangan Rayn menahan pergerakan tubuhnya.

"Tunggu disini. Gue ambilin." Rayn berjalan kearah dapur untuk mengambil air putih.

Beberapa saat, Rayn kembali membawa satu gelas air putih dan membawa piring berisi roti yang sudah dilumuri selai coklat.

"Ini minum." Dinda berusaha duduk dengan bantuan Rayn.

Dinda meminumnya—namun matanya terus menatap Rayn yang terlihat khawatir padanya. 

Rayn menyimpan gelas kosong itu diatas nakas. Matanya menatap Dinda yang terus memperhatikannya. "Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" Tanya Rayn.

"Pengen aja. Nggak boleh yaa." Ucap Dinda dengan suara pelan.

"Boleh. Tapi nggak biasanya lo kayak gitu." Dinda hanya tersenyum tipis mendengarnya.

"Lo belum makan. Ini gue buatin roti buat lo. Maaf ya gue nggak bisa bikin bubur—jadi ya gue bikinnya yang gampang aja."

"Iya nggak papa Rayn."

"Boleh nggak. Gue tidur dipelukan lo." Ucap Dinda pelan—ia tidak tahu kenapa ia mempunyai keinginan untuk tidur di pelukan Rayn.

Rayn menatap Dinda aneh—tidak biasanya dia seperti itu.

Dinda yang diperhatikan seperti itu mendesah kesal—ia yakin pasti Rayn tidak akan mengizinkannya.

"Lupakan yang gue ucapin." Dinda berbaring dan membelakangi Rayn—greb—matanya terbuka merasakan pelukan Rayn.

"Kata—" Ucapan Dinda terpotong ketika Rayn membalikan tubuhnya dan menatap  matanya yang keheranan.

"Katanya mau tidur. Yaudah, sini tidur dipelukan gue." Dinda tersenyum mendengarnya dan tangannya memeluk tubuh Rayn—sebaliknya Rayn pun memeluk tubuh Dinda dengan erat.

Satu tangannya mengelus rambut Dinda dengan lembut—agar dia tertidur lelap.

Sedangkan Dinda makin mempererat pelukannya. "Terimakasih untuk semuanya Rayn. Aku bingung kapan aku harus berhenti mencintai kamu. Tapi jika Ranty nanti kembali, biar aku yang pergi dari kehidupan kamu. Selama dua tahun udah cukup untuk kebersamaan aku sama kamu—aku akan mengembalikan kamu pada pemiliknya."

***

TBC!

Kamis 3 September 2020


 Sleep FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang