Worried..

6.1K 673 3
                                    

"Lo baik-baik aja, bro?" Tanya bang Dani, kebetulan sekali Aska sedang berdiskusi dengan seniornya itu saat Nana menelepon tadi. Ia kembali dengan raut cemas, sehingga mencuri perhatian seniornya tersebut.

Aska mengangguk pelan, lalu meletakan rekap laporan pekerjaannya hari ini. "Gue balik sekarang, ya bang. Sudah bereskan?" Aska mengambil ransel hitamnya.

Bang Dani mengangguk, jam kerjanya memang sudah selesai sejak dua jam lalu. Tapi, Aska tertahan karena ada meeting setelah itu Dani menahannya untuk diskusi soal trouble mesin pesawat yang sedang di tangani.

"Sudah, terima kasih bro! Hati-hati!" Bang Dani menepuk bahunya.

Aska mengangguk "Sama-sama bang!" lalu ia keluar dari kantor para mekanik pesawat, dia berjalan tergesa menuju keluar bandara melalui pintu khusus karyawan.

Setelah diluar, dia mencoba sekali lagi menghubungi Nana. Tapi, gagal. Nana jelas dalam keadaan emosi, bahkan omongan Aska tidak di dengar sama sekali.

"Lo nggak tau apa yang gue rasa, Aska!" Geretak Nana.

"Gue memang nggak tau rasanya jadi lo menghadapi ini semua, Na. Bukan berarti gue akan biarkan lo bersikap nhgak rasional saat emosi seperti ini." Aska ingat betul tadi dia mengatakan itu bukan untuk menyalahkan Nana yang tidak bisa bersikap dewasa menghadapi masalah keluarganya. Dia bicara seperti itu berdasarkan Nana yang emosinya tidak bisa stabil dan terkesan meledak-ledak setelah menghadapi masalah orang tuanya.

"Terus gue harus bagaimana? Tetap diam dan tersenyum palsu sepanjang waktu? Sudahlah, lo nggak akan paham!"

"Na dengar du—"

Tut... tut... tut...

Nana memutuskan sambungan begitu saja. Mencoba menghubungi balik, namun di reject. Nana tidak bersedia mengangkat panggilan masuk darinya.

Kalut, lelaki itu begitu cemas terlebih takut Nana berbuat nekat dalam keadaan emosi seperti itu. Nana yang terus menghindar tidak mau bicara baik-baik dengan ayahnya, menurut Aska adalah tindakan salah karena dengan begitu Nana tidak pernah bisa meluapkan rasa kecewa yang dia pendam, dan Nana juga tidak akan pernah tahu penjelasan seperti apa yang ayahnya akan beri.

Ketika mendapatkan masalah, solusi terbaik adalah duduk lalu bicara. Bukan lari lalu emosi. Itu tidak akan pernah tuntas.

Dina! Ya! Satu nama yang Aska pikirkan itu terlintas. Hanya Dina yang bisa memastikan Nana baik-baik saja. Dia segera mencari kontak Dina, dan menghubunginya.

"Halo?" Thanks god! Setidaknya Aska bisa sedikit tenang begitu mendengar suara dina.

"Halo, din. Ini aska.."

"Ya, aska? Kenapa?" Oke, nada biasa dina pasti karena Nana tidak menghubungi wanita itu! Pikirnya.

"Lo dimana? Can you help me?" Kejar Aska.

"Oh.. gue di kafe. Boleh.. boleh minta tolong apa, ya?"

Nada bingung Dina tidak lagi Aska pedulikan, lalu segera menceritakan apa yang di cemaskannya sejak tadi.

"Gue takut dia kenapa-kenapa sih, din.. bisa ya, tolong lo cari dia. Gue yakin dia belum jauh dari rumahnya."

"Iya.. iya aska, lo tenang oke. Gue coba telepon Nana dulu mudah-mudahan dia angkat." Dina ikutan cemas.

Tidak menyadari, dia malah mengangguk padahal dina jelas tidak akan melihatnya. "Kabari secepatnya ya, dina. Gue khawatir."

"Iya, Nana pasti baik-baik saja. By the way, aska.. yakin kalian just friends? Hm, gue makin berharap kalau Nana sama lo."

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang