Kita, tidak hanya singgah sebatas teman.

14K 842 30
                                    

Dua tahun kemudian.

Semalam Nana tidak bisa tidur karena memikirkan hari ini sebagai hari bersejarah dalam hidupnya. Dadanya berdebar kencang, pagi-pagi sudah bangun dan mulai merias diri dengan memakai kebaya berwarna merah maroon dan kain batik khas Indonesia.

Tidak lupa Nana memoles make up natural tetapi tetap menonjolkan perbedaan yang buat wajah Nana semakin terlihat cantik, rambutnya di sanggul dan ada jepitan penyanggah khas bunga mawar. Tangannya membuka kotak perhiasan, memakai kalung dengan bandul permata yang cantik, melengkapi sebagai akhirnya yang manis.

"Sudah siap, Nana?" Mamah masuk, berjalan mendekat.

Nana tanpa menoleh, cukup menatap lurus pada cermin bisa membalas senyum mamahnya. "Sudah, Ma."

"Cantik sekali anak Mamah!" Satu ciuman di kening diberikan mamah.

Senyum Nana semakin lebar, "Ayo, semua sudah menunggu kita!"

Nana mengangguk langsung bangun dan membawa keperluannya. Mereka menuju suatu tempat.

Hubungan dengan Papah semakin membaik belakangan ini, Papah dan Mamah tetap menjadi orang tuanya yang sama meski status mereka tidak lagi sebagai suami-istri dan menetap satu atap. Papa sudah mulai terima perpisahan dengan Mamah, menjaga keutuhan rumah tangga dengan istrinya yang saat ini.

Semua jadi lebih ringan, setelah dia belajar mengikhlaskan.

Seperti kata seseorang yang pernah mengatakan hal sama pada Nana, sayangnya ketika itu Nana masih terlalu memenangkan ego karena takdir tidak memenuhi harapannya sebagai anak yang ingin punya orang tua utuh.

Seseorang itu Aska, sahabatnya dulu dan sekarang menjadi kekasihnya.

Dua tahun lalu di kota ini, London, Aska menyusul karena satu kejadian Naas yang menimpa Nana tetapi di sini juga hubungan teman itu naik ke tingkat lain. Nana masih tidak memercayai jika Aska sama-sama punya perasaan tidak sekedar teman.

Acara berjalan lancar, satu persatu dipanggil maju untuk dapat gelar Magister. Tiba giliran Nana, dengan perlengkapan baju toga, dia menapaki panggung sempat berhenti untuk melihat keluarganya yang datang jauh-jauh menyaksikan. Kecuali, dia yang Nana sangat harapkan datang, tidak bisa hadir karena pekerjaan.

Nana kecewa, meski berusaha mengerti posisi dia.

"Astaga Nana cantik banget!" Selain orang tua, Dina sebagai sahabat terbaik pun hadir, wanita ini bukan sekedar sahabat lagi tetapi kadarnya sudah seperti saudara.

"Selamat, sayang!" Suara Papah mengalihkan Nana setelah memeluk Dina, dia berbalik dan bergantian memeluk Papah dan Mamah.

"Kami sangat bangga padamu, Nana." Mamah juga melakukan yang sama.

Trauma sempat membuat dia ragu untuk terus melaju dan selesaikan yang sudah di mulai ini, sampai satu tekat Nana runtuhkan trauma tersebut, hampir dua tahun Nana bisa selesaikan pendidikan magisternya.

Dari sini Nana dapat satu pelajaran berharga, jika ada sesuatu mencoba menghentikan langkah, keputusan untuk berhenti atau tetap lanjut tetap ada pada diri sendiri. Jadi, jangan sampai mimpi yang sudah di rangkai dan mulai di raih harus terhenti hanya karena ketika satu ujian datang, langsung menyerah. Bisa saja datangnya ujian untuk membuat lebih kuat dan yakin lagi.

Usaha tak ada yang akan memungkiri hasil.

Keberanian adalah kemenangan yang sesungguhnya setelah lewati ujian.

Masih di area kampus, kini Nana bersama keluarga juga Dina ambil beberapa potret bersama, lalu pulang ke apartemen yang Nana tempati dua tahun ini.

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang