Menata...

6.1K 591 3
                                    

"Aku nggak butuh semua itu, mama." Nana baru tahu jika ternyata semua hasil harta selama pernikahan orang tuanya, sepakat dalam sidang perceraian di berikan atas nama Nana, sang putri semata wayang dari pernikahan mereka. Buat apa semua itu jika yang di inginkannya adalah keluarga telah hancur tidak tersisa.

"Karena semua yang mama miliki memang untuk kamu seorang, nak."

"Termasuk rumah ini?" Mama mengangguk kecil, rumah yang di bangun oleh ayah Nana ini. di serahkan lelaki itu untuk sang putri. "Jadi kalau aku jual, nggak masalah?"

"Na?" Mama mengerjap dengan pertanyaan sang putri secara tiba-tiba.

"Sudah menjadi milikku, sedangkan aku nggak butuh rumah sebesar ini karena yang aku rasakan hanya ada sepi dan sunyi. Ma, kita harus mulai hidup baru. Nana rasa ini saatnya kita meninggalkan semua luka." Ucap Nana, ia sudah pikirkan semua ini bahkan sebelum perceraian orang tuanya terjadi.

"Kamu yakin, Na?" meski hatinya ragu, Mamanya tahu bagaimana perjuangan sang mantan suami sampai bisa memiliki rumah yang sudah mereka tempati berpuluh tahun ini.

Nana mengangguk lalu tersenyum, dia berjalan mendekati sang Mama yang duduk. Bersimpuh Nana di depannya sambil menggenggam tangan Mama.

"Nana hanya punya Mama sekarang, rumah ini hanya terus membuat Nana ingat semua yang telah terjadi. Nana mau hidup tenang, berdua sama mama. Kita mulai dengan sederhana, meski nggak sebesar ini tapi Nana ingin suasana baru." Kata Nana dengan nada lembut.

Mama terdiam cukup lama, pandangan matanya bertemu dengan mata sang putri semata wayang. Terlihat rapuh dan kesedihan tergambar jelas di sana tapi, ia tahu Nana berusaha keras untuk kuat dan melepaskan bebannya.

"Nana harus janji sama mama, setelah ini akan bahagia."

"Ya, kita akan bahagia meski tanpa Papa." Angguknya lalu merebahkan kepala di pangkuan sang Mama, tidak ada air mata seperti waktu itu. Melepaskan, adalah sebuah kesakitan yang telah di lewatinya untuk menyongsong hidup lebih baik. Nana yang dulu telah hancur bersama semua kenangan bersama keluarga yang pernah sempurna. Meski bahagia itu masih berupa abu-abu untuknya, namun dalam pangkuan sang mama begini saja sudah membuat Nana merasa sangat cukup. Dia berharap Tuhan sudah cukup membuat dia kehilangan sekali dan Nana tidak tahu akan seperti apa dirinya jika harus menghadapi kehilangan sekali lagi.

"Mama sayang Nana." Bisik Mama terdengar, berikutnya Nana biarkan wanita yang begitu di sayanginya tersebut menangis semua luka untuk terakhir kali.

Menjual rumah orang tuanya, hasilnya akan Nana belikan ke sebuah rumah lebih sederhana lalu sisa uangnya akan dia gunakan untuk pergi ketanah suci, beribadah bersama Mama, jika masih ada sisa akan di tabung untuk masa tua mama meski ia tahu Papa dan mama bahkan sudah menyiapkannya sendiri, dan perceraian lalu Papa tidak sedikit pun mengambil hak yang memang sudah jadi milik mantan istrinya.

Nana butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi terus merasa terpuruk tidak akan membuat semua yang telah hancur bisa kembali utuh.

Ternyata mendapatkan rumah yang sesuai selera Nana itu sulit, akhirnya Nana memilih membeli sebidang tanah dan membangunnya dari nol. Sementara waktu ia dan Mama menyewa sebuah apartemen sederhana tidak jauh dari sana. Waktu terus berjalan, keberangkatan Nana ke tanah suci juga semakin dekat, hanya Umroh biasa selama sepuluh hari. Dina dan Aska mendukung semua rencana baru hidup yang Nana susun.

"Berangkat Senin ini? Berjilbab dong lo?" goda Aska yang sudah tersambung melalui panggilan video sejak beberapa menit lalu.

Lelaki itu baru saja sampai tempat tinggalnya, sementara Nana baru masuk kamar setelah makan malam berdua dengan Mama. Hidupnya jauh lebih ringan setelah tinggal di apartemen sewaannya ini. Mama juga mulai mencari ide untuk bisnisnya bersama adik kandungnya, tante Lana. Katanya bosan kalau seharian di rumah saja. Nana jelas mendukung keinginan mama tersebut. Kue-kue buatan Mama terkenal enak, ada saja kenalan yang minta tolong di buatkan karena itulah Mama akan mulai dengan usaha jualan kue-kue tradisional.

Nana memutar bola matanya malas, itu jelas pertanyaan konyol. Nana tahu Aska hanya berusaha menghibur dengan celoteh anehnya. "Iya lah, ya kali nggak pakai. Ngaco!"

Aska terkekeh, "Foto nanti, ya!"

"Buat lo?"

"Iya, gue pengen lihat lo cocok nggak pakainya."

"Setiap lebaran juga gue pakai baju muslim." Cibir Nana merasa aneh dengan permintaan Aska yang seperti tidak pernah melihat dia berpakaian tertutup saja.

"Bedalah, kalau lebaran lo cuman pakai selendang diatas kepala dan membiarkan rambut tetap terlihat, kalau ini kan pakai jilbab panjang, memakainya dengan benar."

"Penasaran banget, bilang aja mau ngejek gue nggak pantas nanti!" Nana sudah berprasangka buruk saja.

Aska tergelak mendapat tuduhan seperti itu. "Sudah kirim aja nanti."

"Ogah! Bilang dulu alasannya apa?" Nana tidak akan membiarkan Aska mengoloknya.

"Astaga, Nana. Negatif thinking mulu sih sama gue! Setiap perempuan itu menurut gue justru makin beraura kalau berpakaian tertutup dan hijab."

"Kecuali gue, tau banget lo bakal ngomong gitu!"

"Nggak, Na.. serius." Aska tersenyum lebar lalu mengangkat tangannya, Nana melihat kedua jarinya terangkat membentuk huruf V.

"benar?"

"Iya, Nana benar!"

"Awas aja kalau fotonya nanti lo bilang buat usir tikus!" Ancamnya lagi membuat tawa Aska pecah karena sesulit itu membuat Nana percaya padanya.

"Nggak na, bukan buat usir tikus tapi kecoak."

"Aska! Tuhkan ngeselin!" Teriak Nana tidak terima sementara Aska semakin tergelak puas membuat Nana kesal.

***

Hari ini Nana sudah mulai sibuk packing segala keperluannya selama di tanah suci. Dia menatap beberapa pakaian tertutup dan panjang, baju muslim syar'i. Nana memang belum ada niatan untuk menutup aurat sepenuhnya, dia merasa hati dan hidupnya dulu yang perlu di benahi, kewajiban lima waktu saja masih sering terlewat karena kesibukan dunia padahal jelas-jelas itu tidak menjaminnya ke surga, selain amal ibadahnya kepada sang Pencipta.

Lalu gerakan tangan Nana terhenti saat memegang bahan halus dari salah satu baju berwarna hitam, bahannya yang jatuh akan anggun saat di kenakan. Semua baju ini pilihan sang mama, Nana hanya menyebut ukuran dan belum pernah mencobanya karena dia sibuk selesaikan pekerjaan agar bisa tenang beribadah di tanah suci.

Rasa penasaran Nana muncul terutama terngiang obrolan Aska semalam, lelaki itu benar-benar ingin melihat rupa Nana dalam balutan tertutup. Walau ia sendiri ragu tujuan Aska untuk apa, entah untuk menghibur Nana atau nanti menggodanya.

Nana bergerak dan bangkit dengan masih mendekap pakaian hitam tersebut, berdiri di depan cermin besar, pertama dia memandangi tampilan biasanya dengan celana super pendek dan kaos lusuh yang kebesaran, sementara rambutnya terurai dan berantakan, dia sudah mandi, hanya karena tidak ada jadwal harus keluar rumah jadilah begini adanya tampilan Nana sehari-hari.

Tangannya bergerak, perlahan membuka satu persatu pakaiannya dan mengganti dengan gamis tersebut.

Tampak melekat pas membalut tubuhnya, merasa ada yang kurang, Nana bergerak cepat mengambil hijab pasangan pakaian tersebut, berwarna hitam juga dan memiliki bahan jatuh sangat lembut. Nana mengikat rambutnya asal, lalu memakainya.

Dia terdiam cukup lama memandang dirinya yang telah berubah dengan tampilan sebelumnya, merasa tidak mengenali dan tidak percaya bahwa dalam cermin itu adalah dirinya.

"Na... sayang, MasyaAllah cantik sekali!" Nana berbalik dan tersenyum mendengar Mama tercengang melihat sang putri terlihat memesona dengan balutan pakaian tertutup tersebut.

"Pantas nggak, ma?" tanya Nana, langkah kaku membawa Mama berdiri di hadapannya. Tangan mama terulur, mengusap sayang puncak kepala Nana.

"Cantik sekali, nak." pujinya tulus membuat senyum Nana terbit, lalu terbesit pikiran membuat pipinya merona. Bagaimana komentar Aska melihat ini, ya? Lalu sedetik kemudian Nana mulai bingung, mengapa pendapat Aska selalu penting untuknya.

to be continued...

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang