I'm with you

6.2K 595 7
                                    

Minggu sore jalanan tidak terlalu padat, Nana memperhatikan Aska sedang berkonsentrasi menyetir di sampingnya, tangan ia begitu nyaman memegang setir mobil Nana karena kadang kala jika bepergian bersama menggunakan mobil wanita itu. Jadi, ia telah terbiasa.

Audio dibiarkan memutar lagu-lagu kesukaan Nana meski dengan volume pelan.

"Kini dirimu yang selalu bertahta di benakku, dan aku kan mengiringi bersama di setiap langkahmu.." Nana tampak asyik sesekali mengikuti bait demi bait lagu bahasa kalbu new versi yang dibawakan raisa. Suasana hati wanita itu sedang senang.

Aska melirik Nana yang kemudian bersandar dengan siku di sisi jendela menahan kepala juga sedang menatapnya. "Kenapa sih lirik-lirik?" tanya Nana curiga.

Aska terkekeh, "suara lo menganggu."

"Resek lo!" Omelnya masih tetap curiga saat Aska kembali meliriknya. "Kenapa sih?" Kembali bertanya.

Ia bukan tidak tahu jika Aska yang datang ke rumahnya dua jam lebih awal tertahan lama mengobrol dengan mamanya, sementara Nana sedang menyelesaikan satu pekerjaan sebelum dua hari ini dia sengaja ambil libur untuk main ke rumah tantenya di Tangerang.

"Nggak apa-apa." Aska mengedikan bahu terlihat ragu untuk menyampaikan sesuatu.

"Gue tau nih, pasti nyokap bilang sesuatu sama lo kan?!" tebaknya, setelah kejadian Nana yang memilih pergi saat kedatangan Papa. Mama jelas tahu watak sang putri, tidak akan susah payah mengajaknya bahas itu. Nana memang kembali ke rumah esok harinya, tapi ia menutup diri dan lebih terlihat menyibukkan dirinya.

"tante ina nggak bicara apa pun yang lo pikirkan." Aska menyangkal dengan santai.

Nana menyeringai segera bergerak sampai menyisakan sedikit jarak dan menatap curiga. "Berbohong is a sin."

"Anak-anak juga tau soal itu." Kata Aska dengan satu tangan mendorong kening Nana sampai menjauh.

"Ckck.. lo mencurigakan sekali!" Decaknya tidak menyerah.

"Kalau gue ngomong juga lo nggak akan mau dengar." Ujarnya begitu yakin.

"Tentu aja, apalagi bahas hal yang jelas buang-buang waktu." Garis wajah Nana mulai berubah, dia terlihat enggan membahas itu.

"Karena jawabannya sudah pasti lo tetap merasa benar." Aska melirik Nana untuk mencari tahu ekspresi wajahnya.

"Tentu saja benar sebab bukan gue yang lakukan kesalahan dalam hal ini." Nana si keras kepala sudah kembali, Aska mengurungkan diri untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

"Ko diam?" tanya Nana lagi begitu tidak mendapatkan Aska bicara.

Aska menghela napas, "Mau bicara apa lagi? Lo jelas udah tarik urat lebih dulu sebelum gue mengatakan."

Nana menatap Aska serius seketika menyadari ia sudah terlalu bersikap defensif, segera ia mengendalikan sisi emosional dengan mengalihkan tatapan keluar jendela sampai pantulan wajah Asya yang meliriknya buat Nana menghela napas sebelum kembali menghadap lelaki itu sepenuhnya.

"lo jelas tau hal ini sensitif buat gue." Aska menatap Mata Nana mulai berkaca-kaca, perempuan itu kadang terlihat kuat juga lemah saat berhadapan dengan situasi seperti sekarang ini.

"Lalu apa yang lo dapat dengan bersikap seperti sekarang, Na?" tanya Aska akhirnya.

Nana menatap lelaki itu, "Nggak ada, kecuali perasaan teramat sesak setiap mengingat itu semua." Ujarnya begitu pelan tapi, masih bisa ditangkap oleh Aska.

Mobil masuk ke kawasan Bandara, Aska memilih diam sampai mobil menemukan tempat parkir, dan tetap membiarkan mobil menyalah.

"Na?" panggil Aska pelan, "Tante Ina memang bicara tadi sama gue, dia nyerah untuk buat lo memaafkan dan mengerti situasi ini. Tante Ina sudah cari pengacara untuk urus perpisahan—" belum sempat Aska selesaikan kalimatnya, tangis Nana lebih dulu pecah.

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang