Before you go

7.8K 783 45
                                    

Ada banyak cara untuk melerai luka yang selama ini tertahan lama di lubuk hati, diantara itu semua melepaskan adalah satu pilihan tersulit tapi tepat untuk menemukan kebahagiaan. Jatuh hati tak selalu berujung menemukan bahagia, Nana harus melewati rasa sakit penuh duka dulu sampai akan menemukan bahagia itu di fase kehidupan nanti.

Ingin rasanya Nana sampaikan alasan tersebut ketika Aska merundung dengan pertanyaan-alasan kepergian ke London tanpa memberitahu lelaki itu.

Sayangnya, Nana hanya menjawab ala kadarnya, sembunyikan sakit dan perih di hatinya dengan jawaban-Kesempatan ini belum tentu datang dua kali, Nana tak ingin menyesal di kemudian hari.

Lalu dia juga berkelit, bukan tak ingin memberitahu Aska tapi, dia masih persiapkan berkas-berkas, baru akan beritahu setelah itu. Tanggapan Aska malam itu, tak banyak bicara lagi. Dia berjalan mendekat, mengusap puncak kepala Nana, memintanya untuk istirahat lalu dengan wajah masih pias, lelaki itu berbalik keluar membiarkan dingin menyelimuti dengan kebisuan dan baru kembali saat mengantar Nana pulang. Nana tak menangis lagi, tapi, Dina yang menemui setelah itu tahu bahwa sahabatnya sedang coba menahan kepedihan hatinya.

Waktu berjalan, rasanya begitu menyiksa ketika yang di tunggu-tunggu malah terasa berjalan lamban sampai satu bulan menjelang keberangkatan, undangan itu datang.

Aska duduk di hadapannya siang itu, memberikan sebuah undangan sederhana dan cantik berwarna purple. Engagement day Aska dan Nona.

"Besok malam acaranya, bukan acara besar cuman keluarga dan kerabat terdekat. Lo bisa jadi pendamping gue, kan?"

Pendamping?

Satu kata menyita perhatian Nana, pedih kembali mengiris hatinya. Pendamping dalam artian berbeda jelas saja. pendamping, menemani sahabatnya itu menemui calon pendamping hidupnya, wanita lain bukan dirinya.

Terus saja Na berharap, meski kenyataan sudah di depan mata. Bisiknya.

Nana mengangguk kecil, menutupi kegetiran. "Jam berapa?" mengambil undangan tersebut, Nana mengusap sepasang nama-Aska dan Nona.

Hanya beda satu huruf vokal, Na. bisik hatinya lagi menertawakan kepahitan perasaan Nana.

"Tujuh malam, bisa?" mengulang pertanyaan, Aska berhasil menarik atensi Nana hingga menatapnya.

"Oh, iya bisa. Gue datang sama Mama dan Dina, boleh?" Nana butuh pegangan untuk tetap waras malam itu.

Aska lalu mengeluarkan undangan lain, "Ini memang ada undangan buat Dina."

Aska mengenal Dina dari Nana, karena sudah sering bertemu jadi cukup kenal dengannya walau belakangan ini Dina terlihat tak suka setiap bertemu, memberi tatapan galak.

"Nanti gue sampaikan ke Dina."

Lalu suasana berubah canggung, baru kali ini keduanya kehabisan bahasan membuat suasa hangat atau sekedar perdebatan karena perbedaan pendapat saat membahas satu dan beberapa topik.

"Na"

"Aska."

Kedua tersenyum kecil, saat mulai bersamaan.

"Ya, Na?" Aska lalu mempersilakan Nana bicara lebih dulu.

"Mau minum apa?" tanya Nana baru ingat belum menawari Aska.

Aska menghela napas tanpa senyum hangat menatap sahabatnya itu. "Gue jadi tamu sekarang?"

"Hah?" Nana tidak mengerti maksud Aska.

"Biasanya lo nggak pernah tanya, gue biasa ambil sendiri." Aska sudah terbiasa merasa rumah Nana adalah rumah kedua untuknya, mamanya Nana juga selalu santai, biarkan Aska ambil minum sendiri atau ikut makan kalau datang, duduk di tempat mana pun yang lelaki itu mau.

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang