Epilog

9.8K 433 11
                                    

“Aska!” suara itu datang bersamaan pintu yang digedor beberapa kali. Pemilik nama mengerang, tidak sampai menghitung sampai tiga pintu terbuka. Aska mengambil bantal dan menutup wajah.

“Ih kok masih tidur sih?!” Protes dengan nada suara yang menusuk telinga.

“Aku baru pulang menjelang subuh, Na.” Aska bicara terendam bantal masih menutupi wajah.

Nana bersedekap, menatap calon suaminya yang masih meringkuk.

“Oh, ini mau batal aja nikahnya?”

Tap!

Aska langsung membuka mata, menyingkirkan sembarang bantal dan menatap tunangannya yang sudah cantik, rapi dan wangi.

“Na, ancamannya jangan kayak gitu. Omongan doa lho!”

Nana memutar bola matanya, malas “Lagian, kamu! kita ada janji lihat gedung hari ini, udah cancel beberapa kali karena kerjaan kamu. Terus sore ini kita mau datang ke pernikahan Nona, kan?”

Sempat memanas antara dua keluarga, karena batal pernikahan. Hubungan Nona dan Aska baik-baik saja. Nona lebih banyak komunikasi dengan Nana, setelah Nana datang minta maaf. Wanita baik itu tidak menaruh dendam, dan akhirnya menemukan tambatan hati yang mencintai dirinya.

Luka lama-kelamaan terobati, keluarga mereka memang tidak lagi ada saling bertemu tapi keluarga Nona pun sudah memaafkan Aska.

Undangan datang seminggu lalu, Nona dan calon suaminya yang mengantar pada Nana dan Aska. Mereka bahkan makan malam bersama, saling berbincang.

Damai rasanya, berakhir baik-baik karena bicara dari hati ke hati. Nana pun berhenti menganggap dirinya penyebab batal rencana pernikahan dan telah menyakiti Nona. 

Aska menghela napas, penuh sesal “Oke, aku mandi dulu.”

“Kamu punya waktu hanya lima menit.”

“Na, nggak cukup lho itu. Belum panggilan alam rutin pagi—“

“Kalau kamu ngoceh terus, ya makin mengulur waktu. Udah ayo! Bangun! Aku nggak mau lho punya suami nanti pemalas!”

Aska menatap Nana “aku bukan pengangguran.”

“Pemalas tuh bukan pengangguran aja, kayak suami yang tahunya cuman kerja, pas nyampe rumah nggak peduli kalau tanggung jawab pekerjaan rumah dan anak bukan hanya milik istri. Dirumah leha-leha, nggak mau bantuan istri. Itu juga pemalas.”

Perdebatan mereka tidak disadari malah mengulur waktu, Aska malah duduk betah berlama-lama dengan Nana bicara gambaran rumah tangga mereka nanti. Memandang kagum wajah cantik sahabat jadi cintanya.

Kemana aja, Aska. Baru sadar wanita didepan lo cantik?! Batinnya.

Sebelumnya mereka juga sering bahas, terutama soal finansial. Nana ingin tetap jalani pekerjaan sebagai ilustrator. Aska setuju selama pas libur, waktu Nana tidak mengganggu kebersamaan mereka. Soal cicilan mereka bahas juga, Nana ternyata cukup hebat mengatur keuangan. Dia punya kartu kredit tapi belum memakainya.

Sementara Aska, ada cicilan mobil tinggal satu tahun lagi. Tempat tinggal pun dibahas, Nana tidak bisa meninggalkan Mama. Kecuali Mamanya menikah lagi, ada yang menjaga dan bertanggung jawab. Jika tidak, artinya Mama akan tinggal bersama mereka dan jadi tanggung jawab Nana dan Aska.

Aska tidak keberatan sama sekali, dia sudah menganggap Mama Nana seperti orang tua sendiri. Begitu pun bagi Mama yang kenal Aska dari masih kecil, tak ubah seperti anak laki-lakinya.

Rumah Nana juga sudah selesai dan langsung di tepati begitu kembali ke Indonesia. Aska awalnya sedikit tidak enak memikirkan harus tinggal di rumah perempuan sebagai laki-laki. tapi, Nana tidak bisa meninggalkan Mama.

Tidak akan ada juga yang bicara buruk, Aska akan tinggal bukan menumpang hidup. Dia yang akan mencukupi istri dan rumah tangganya. Jadi, urusan itu semua sudah sepakat. Ya, pernikahan bukan hanya memikirkan satu hari di hari pesta pernikahan. Melainkan hari panjang setelahnya.

“Jadi sekarang pertanyaan dariku, mau berapa anak?” celetuk Aska menghentikan Nana bicara.

Nana melotot, pipinya merona. Dia bergerak gesit mengambil guling dan memukul-mukul Aska “Pikiran kamu, nih ya! Reproduksi anak terus!”

Aska memegang guling tersebut yang masih dipertahankan Nana, jadilah tarik-menarik sampai Nana jatuh kalah tenaga, sigap Aska merengkuh pingang dengan lekat.

“Sekarang bisa malu, nanti mau terus—Astaga Na, sakit!” Nana mencubit pinggang Aska. Dia pun berdiri. “Kalau udah jadi istri jangan bar-bar begitu Na, main pukul sama cubit-cubit!”

Nana terkekeh, “risiko nikah sama sahabat. Udah sana mandi, aku tunggu di luar!”

“Tunggu di sini aja.”

“Ogah! Belum muhrim tau!” Nana berujar begitu sambil berbalik dan melangkah cepat keluar. Aska tergelak. Perasaan dulu, Nana sering main masuk kamar, tiduran dan menunggu mandi. Sekarang digoda begitu, wajahnya sudah merah padam.

Ah, Aska tidak sabar segera resmi menikahi Nana, sahabatnya sendiri. pasti menyenangkan, karena dia dapat dua hal cinta sekaligus sahabat yang menjadi partner perjalanan hidupnya.

The End.

Duh berapa lama ini aku butuh post Epilog. Maaf ya, aku sibuk di sebelah.

Extra Part akan ada, kemungkinan nanti di KaryaKarsa. Tunggu info dari aku aja di Ig : Unaartika.

Thank you.

KITA [Pernah Singgah, Sebatas Teman]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang