TARA melongokan kepala ke bawah tangga. Ia memasang telinganya, mendengar secara seksama. Syukurnya tak terdengar suara apapun dari lantai satu.
Maka dengan langkah ringan ia mengangkat kopernya, turun dari tangga dengan sangat amat hati-hati tanpa menimbulkan suara. Setibanya di bawah, Tara makin waspada. Apalagi ketika ia melintasi kamar nomor 03, degup jantung Tara tak karuan dan perutnya rasanya sakit.
Bak maling mengendap-endap masuk ke rumah Tara berjalan pelan. Ia menuju kamar Bima. Di ketoknya pintu kamar Bima. Ketokannya nyaris tak berbunyi.
"Bima," Tara membisiki pintu. "Bima cepat keluar." Beberapa detik kemudian tidak ada jawaban dari dalam. Tara mendesah. "Bima, gue udah siap berangkat, buruan keluar. Nanti gue ketinggalan pesawat," desis Tara.
"Iya, sabar, Mba!" Bima berteriak dari dalam kamar. Tara langsung mengusap dada kaget dan mendelik pintu kamar 03 di seberang. Jantungnya bagai dikocok saat ia mengamati pintu itu. Jangan keluar! Jangan keluar! Jangan keluar! Tara memanjatkan doa agar pintu itu berubah jadi tembok.
"Bim, gue tunggu di luar," desis Tara pada pintu kamar Bima.
"Apa, Mba? Nggak dengar! Tunggu bentar, masih siap-siap!" Semakin Bima bersorak, denyut jantung Tara makin naik-turun. Tara pun ngeloyor, kembali mengendap-endap keluar rumah.
Namun baru selangkah berjalan, pintu kamar Bima terayun dan si Bima muncul, mengajak, "Yuk, Mba, berangkat."
Bertepatan dengan itu pintu kamar 03 terbuka. Pemiliknya, Sebastian, nampak dengan jaket hitamnya. "Tar, Bim, ayo berangkat."
Tara megap-megap. Ia tak mampu membendung kegugupannya lagi. Tanpa menunggu kesempatan lain, Tara mengamit lengan Bima. "Bim, ayo buruan!"
Bima yang kebingungan terpaksa ditarik paksa oleh Tara. Mereka keluar dari rumah. Tak terkecuali Bastian. Pria itu dengan santai mengikuti mereka.
"Nggak ada barang yang ketinggalan kan, Tar?" tanya Bastian sambil mengunci pintu rumah. "Dompet? HP? Kartu ujian?"
Tara menggigit bibir, tak menggubris Bastian. Duh! Kenapa Sebastian bertanya seolah-olah cowok itu bakal ikut mengantar ke bandara?
Dengan cuek bebek Tara membopong kopernya menuju mobil Bima. "Bim, bukaiin mobil lo, dong. Gue mau masukkin koper." Belum-belum Sebastian mengambil enteng koper Tara, lantas memasukkan ke bagasi Pajeronya.
Tara menganga. "Nggak bisa! Sini balikin koper gue!" Ia menyamperi Bastian selagi pintu bagasi mobil tertutup otomatis.
"Nanti gue balikin kalau udah sampai bandara," ujar Bastian simpel seraya masuk ke kursi pengendara. "Bim, yuk, masuk." Ia mengedikkan kepala ke kursi belakang.
"Mas, sebenarnya lo kenapa, sih, sama Mba Tara?" tanya Bima sambil menuju mobil.
Tara keukuh diam di tempat. Ia ogah diantar Bastian.
"Panjang ceritanya," Bastian praktis masuk ke mobil.
Saat Bima membuka pintu bagian belakang ia melihat ada banyak kardus dan barang menumpuk. Hanya menyisakan satu kursi kosong.
"Cepat masuk, Bim," tegur Bastian. Dengan patuh Bima pun duduk dan menutup pintu mobil. Sesungguhnya Bima tidak paham untuk apa ia ikut karena, toh, ternyata Sebastian yang menyetir.
"Tara, cepetan masuk, lo boarding bentar lagi kan?" Bastian menengok ke luar jendela.
Tara menatap Bastian tak suka. "Gue di belakang!" protes Tara. Ia kemudian membuka pintu yang Bima masuki tadi. Begitu dibuka anak itu langsung berkata gamblang, "Di belakang udah penuh, Mba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thief!
ChickLitTELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghuninya pun berkumpul mengadakan rapat darurat. Mereka saling menuduh satu sama lain sebagai suspect al...