SABTU pagi, di rumah ini, seperti biasa, hening. Seluruh penghuni belum puas tidur dan masih berleha-leha setelah weekday suntuk bekerja. Kecuali Bastian.
Pukul setengah enam pria itu keluar dari kamar, memakai kaos dan jaket lari parasutnya. Ia berutinitas mengelilingi komplek perumahan dan selesai lebih cepat dari biasanya.
Saat Bastian pendinginan di depan rumah, ada satu kebiasaan yang tanpa sadar sering ia lakukan. Yaitu melihat ke atas, ke balkon rumah lantai dua. Lalu bergeser melirik kamar Tara, kamar yang terletak persis di atas kamarnya.
Pemandangan ini selalu Bastian lihat tiap kali ia selesai jogging : Jendela berkusen putih dan berdaun dua kamar Tara yang tersingkap lebar. Vitrase putih yang terhembus angin. Dan tanaman hias berpot keramik di beranda atas yang ikut bergoyang saat angin menerpa.
Dan satu lagi; menyiram.
Bastian selalu melihat Tara menyiram anggrek, monstera, dan tumbuhan lainnya yang berjajar apik di beranda lantai dua bertepian kaca.
Baru saja diingat, Tara langsung muncul. Wanita itu menggeser pintu dan berjalan ke tengah balkon. Tara membawa pot siram warna hijau, kelihatannya alat baru. Karena biasanya, Tara selalu menyiram dengan centong dan ember. Tiap kali cewek itu membungkuk untuk mengisi centong dengan air dalam ember, Tara selalu bertolak pinggang. Seperti nenek-nenek berpinggang encok. Bastian nyaris tertawa tiap melihat pemandangan yang sungguh menghibur itu.
Saat ini, sambil masih mengambil gerakan pendinginan, Bastian memandangi Tara. Wanita itu terlihat kesusahan menggunakan pot siram, alat barunya.
"Plastik lubang siramannya belum dilepas," Bastian tiba-tiba menyahut dari bawah, dari seberang jalan di depan rumah.
Tara, yang tidak tahu sedang diperhatikan, langsung terperanjat. Ia merapat ke tepian kaca beranda dan menatap Bastian geger. "Sejak kapan lo disitu?" teriaknya.
"Daritadi," Bastian mengedikkan pundak, menengadah menatap Tara.
"Bilang, dong. Kaget, tahu!" sorak Tara.
Bastian tertawa. Apakah ia sudah terbiasa dengan kecerewetan Tara?
"Plastik di lubang alat siram baru lo belum dibuka," Bastian menunjuk benda yang Tara bawa. "Makanya pas lo siram airnya nggak mau keluar."
Lewat ekor mata Tara melirik pot siram yang ia pegang. "Gue tahu, kok," katanya dengan dagu terangkat tinggi. Bohongnya si Tara.... Jelas-jelas ia kesusahan menggunakan alat baru itu. Karena tahu Tara gengsi mengaku, Bastian cuma anggguk-anguk sambil tersenyum miring.
"Sana, lo lanjut jogging aja sana," usir Tara, kemudian berbalik kembali ke posisi semula. Bastian tidak membalas dan tetap melakukan peregangan. Karena tak ada tontonan lain, ia pun lanjut mendongak menyaksikan Tara menyiram tanaman. Wanita itu mulai menyirami tumbuhan-tumbuhan berpot keramik. Sayangnya, karena air dalam alat menyerupai teko itu penuh, airnya tumpah ruah ke lantai selagi Tara mengguyur air ke tanaman.
"Bolong di bagian atas pot siramnya tutup aja biar airnya nggak jatuh-jatuh," tegur Bastian lagi. Ia sudah selesai melakukan pendinginan.
Tara sadar Bastian daritadi menontonnya. Ia mendecakkan lidah dan menurunkan pot siram yang ia tenteng, kemudian merengut, "Nih, lo aja, deh, yang nyiram."
"Malas banget," seloroh Bastian sembari tertawa renyah.
"Ya udah makanya diam!" erang Tara. Ia menyorot Bastian tajam sebelum kemudian menyerong badan kesal dan lanjut menyiram tanaman.
Bastian sebal juga karena niat baiknya malah dibalas tak ramah, tapi saat berjalan masuk melewati pagar ke dalam rumah, ia tidak bisa berhenti tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thief!
ChickLitTELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghuninya pun berkumpul mengadakan rapat darurat. Mereka saling menuduh satu sama lain sebagai suspect al...