"MBA Cit, sumpah, gue ngerasa ini aneh banget." Tara berdiri di samping rak buku dekat TV. Kedua tangannya terlipat di depan perut. Ia memandang keramaian di hadapannya. Ada anak kecil duduk di kursi meja makan. Tidak, tidak hanya satu. Ada lima anak duduk di sana, mengisi kursi-kursi hingga tak menyisakan satu pun tempat duduk.
Citra yang duduk di sofa memutar badannya, ikut memandang kumpulan anak di meja makan. "Mereka anak-anak siapa, sih, Tar?" Citra malah bertanya balik.
Tara mengedikkan pundak, geleng-geleng kepala. "Anak tetangga kali," terkanya. Akhir-akhir ini Tara dan Citra disuguhi pemandangan bertema "belajar kelompok". Para bocah yang entah rumahnya di mana itu bolak-balik masuk rumah mereka. Akan ada sandal berjajar di teras rumah. Dan akan ada suara patahan isi pensil saat seorang anak menulis dengan pensil mekanik. Meja makan rumah kontrakkan mereka tiba-tiba saja menjadi bangku sekolah yang mengebatkan banyak buku dan lembar rumus.
Citra dan Tara mengamati ketika Bima melewati mereka. Masih mengenakan seragam SMA, Bima berdiri di kepala meja. Laki-laki itu menepuk-nepuk tangannya. "Ayo, ayo, semua, kita mulai belajar ya! Udah siap semua kan?"
Tara menutup mulut cepat menahan mual. Citra terpaku nanar. Melihat Bima mengatakan kata-kata mengajak sok ramah pada anak-anak itu membuat mereka terguncang dan shock berat. Tara dan Citra memang pernah melihat Bima mengajar sebelumnya. Tapi tidak dengan murid sebanyak ini. Tidak pula saat Bima mengelilingi meja untuk membimbing para bocah satu per satu.
Bagaimana bisa Bima, anak ingusan itu berlagak jadi guru? Kesambet apa?
"Tar, Bima ngadaiin bimbingan belajar, Tar," Citra memberitahu Tara, sebetulnya lebih kepada diri sendiri. Wajahnya datar, tak percaya.
Tara tak berkutik. "Gue juga nggak percaya, Mba." Kemudian tanpa kesabaran ia memanggil Bima, "Bima!" Tara melambaikan tangan.
Dari buku yang ia baca, Bima mengangkat kepala. Lewat ekspresinya cowok itu bertanya "apa?"
"Sini!" Tara berdesis sambil menggerakkan tangan. Bima dengan air muka malas berdiri. Ia mendekati Tara dan Citra di ruang tengah.
"Kenapa, Mba?" tanya Bima.
"Lo ngapain, Bim?" Citra bertanya, masih bengong.
"Belajar sambil ngajarin anak-anak," respon Bima.
"Ngapain lo buat bimbingan belajar gini?" tanya Tara.
Bima lamat-lamat memberikan jawabannya, "Ya buat ngisi waktu aja"
"Kemarin katanya buat nyari kerja tambahan?" tanya Citra, menarik dagu dan menyipitkan mata. "Lagian kalau cuma buat ngisi waktu biasanya kan lo nge-gaming."
"Atau hang out sama cewek di mall," Tara cepat menambahkan.
Bima menghembuskan napas. Ia merasa seperti siswa baru yang dilabrak senior.
"Ohya, bukannya lo mau ujian bulan depan?" Citra mengangkat alis tinggi-tinggi. "Hayo, ngaku, ngapain lo ngajari anak-anak SD padahal lo sendiri harus konsen belajar?" unjuk Citra.
"Ya elah, Mba," Bima mengerling. "Apa sulitnya belajar sambil bantu anak lain? Kan kita sama-sama belajar juga." Citra dan Tara agak tergemap. Ini kali pertama mereka mendengar larik bijak keluar dari mulut Bima.
Citra menghela napas, mengkritisi, "Gue kakak sepupu lo, sih, Bim, tapi gue berasa ibu lo di rumah ini. Kalau Tante Ari marahin gue gara-gara lo ketahuan bikin les-lesan gimana?"
Bima terkekeh. "Makanya nggak usah dikasih tahu," bisiknya. Citra elus-elus dada memandang anak pendusta satu ini. "Lo lo kan sering ngaduiin gue ke nyokap. Mesti dilatih, tuh, supaya nggak ceplas-ceplos," imbuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thief!
Literatura FemininaTELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghuninya pun berkumpul mengadakan rapat darurat. Mereka saling menuduh satu sama lain sebagai suspect al...