"GUE kena DB, Tar."
"Maksud lo demam berdarah?" tanya Tara, tercengan. Dari bayangan di cermin ia menoleh tajam ke HP-nya di atas kasur. Ia tengah bersiap pergi sambil teleponan dengan mba Yani. Teman kantornya itu sudah lima hari tidak masuk kerja. "Udah diopname, Mba?"
Suara mba Yani terdengar lemas. "Iya, tiga hari lalu masuk rumah sakit."
"Di rumah sakit mana? Gue mau jenguk," kata Tara sambilan menata rambutnya.
Mba Yani kemudian menyebut rumah sakit swasta. "Tapi mendingan lo nggak usah jenguk, Tar. Ntar lo ketuleran. Ini lagi musim DB, mesti hati-hati." Suara mba Yani nyaris hilang di akhir kalimat. "Doaiin aja gue cepat sembuh."
"Amin," Tara mengamini. Sambil mencatok rambutnya Tara terus berbincang dengan mba Yani, sampai kemudian mba Yani sadar sendiri. Wanita itu bertanya ke Tara, "Tar, lo nelpon gue benernya mau minjem novel lagi kan?"
Tara nyengir, "Tahu aja lo, Mba." Mba Yani tertawa sumbang. "Tapi bukan itu juga, sih."
"Terus ngapain?"
"Mau ngajak lo ke toko buku," cetus Tara. "Gue mau beli novel."
"Beli novel apa?"
Tara menjawab kilat, "Trilogi Bercak Warna."
Suara mba Yani semakin lemah, "Oh, Ezra Ramiro ya?"
Tara angguk-angguk, "Ya."
Percakapan Tara dan mba Yani terjeda karena seseorang di seberang menyuruh mba Yani untuk istirahat dan bukannya teleponan. "Sori, tadi adik gue nginterupsi," kata mba Yani.
Tara tergelak, "Kalau gitu kita bicaranya kalau lo udah sembuh aja, Mba. Kasihan gue dengar lo bicara. Kayak suara bebek keracunan."
Mba Yani tertawa dengan suara paraunya. "Oke, deh, gue matiin ya, Tar," Mba Yani menyetujui. Tara kira mereka sudah selesai bicara. Tapi mba Yani belum memutus sambungan dan malah kembali mengajak ngobrol, "Ohya, Tar, kalau lo suka sama Ezra Ramiro coba lo datang ke launching bukunya dia bulan depan."
"Bulan depan?" Tara bingung. Setahunya, Ezra Ramiro itu penulis misterius yang keberadaannya terasing. Masa tiba-tiba nongol mengadakan launching buku?
"Emang dia mau muncul ke publik?" tanyanya.
"Gue follow instagram penerbit bukunya," Mba Yani bercerita. "Katanya novel Ezra Ramiro banyak dilirik produser film. Doppelganger itu udah mau proses syuting. Terus katanya Ezra ini juga pingin campur tangan diproses filmnya, makanya dia go-public."
Mata Tara berkaca-kaca, terpesona. "Wah, keren, dong, Mba!"
"Kata Ramirors, Ezra Ramiro itu cewek, Tar," Mba Yani melanjutkan, tetap dengan suara paraunya. "Gue lihat fotonya di internet. Orangnya cantik kayak selebritis. Terus..." Tiba-tiba saja terdengar suara sambaran dan teguran berkata "istirahat, taruh teleponnya!" sebelum akhirnya sambungan telepon mereka terputus. Adik mba Yani pasti lelah menegur menyuruh mba Yani tidur. Tara yakin adik mba Yani itu pasti tipe "S".
Kebetulan saja HP Tara berdering lagi. Nama Bima berkedip-kedip.
"Kenapa, Bim?" tanya Tara begitu panggilan di angkat.
Tanpa repot menyapa Bima menyergah, "Lo sama Mba Citra di mana? Udah otw?"
"Masih siap-siap," balas Tara sambil memoleskan pelembab ke bibir. Tara kemudian mendengar Bima mengeluh "tuh, kan, gue benar, Mas," yang sepertinya digumamkan kepada Ben yang saat ini bersama Bima di seberang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thief!
Literatura FemininaTELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghuninya pun berkumpul mengadakan rapat darurat. Mereka saling menuduh satu sama lain sebagai suspect al...