RUMAH itu berada di dalam komplek perumahan. Dengan satpam rutin berjaga, para warga yang tinggal di salah satu hunian kawasan Pancoran, Jakarta Selatan ini seharusnya merasa terproteksi dari ancaman maling.
Sayangnya, malam ini, rumah tempat Tara mengontrak bersama beberapa penghuni lainnya digemparkan dengan berita kehilangan barang milik Citra, penempat kamar nomor empat di lantai dua khusus untuk perempuan.
"Ini ada apaan, sih?" tanya Bima di tengah pintu kamarnya sambil mengucek mata.
Bima paling muda di antara semua penghuni di rumah ini, anak SMA yang diberi kuasa penuh oleh ibunya, sang pemilik asli rumah, untuk mengawasi para pengontrak agar tak membuat ulah. Bukan karena kontrakan ini kontrakkan campur cewek-cowok, itu tentunya sudah dapat persetujuan dari manajer dan kepala perumahan.
Alasan rumah ini tidak dijual oleh ibu Bima dan malah dikontrakkan sejujurnya adalah karena Bima tidak mau ikut keluarganya pindah ke Surabaya.
"Gue ngincar kuliah di Jakarta. Malas, ah, pindah-pindah. Lagian gue udah terlanjur populer di SMA gue sekarang. Kalau jadi anak femes itu nggak baik nanggung-nanggung," begitu pengakuan si Bima. Sok keren bener! Kalau Bima bukan dari kalangan mampu seperti yang nampak dari interior rumah ini, Tara yakin bocah satu itu bakal -disuruh ikut pindah.
"Cit, lo ngapain bangunin kita?" Ben, penghuni kamar tepat di sebelah Bima, menggaruk rambut sambil menutup pintu kamar. Dengan wajah mengantuk ia memakai kaca mata lensa bingkai hitam yang selalu dipakainya. Pria itu mengedip-kedipkan mata ke arah jam dinding di ruang tamu. "Ini beneran jam satu pagi?" Ia melongo.
Citra, orang yang ditanya, tidak menjawab. Wanita itu sibuk lanjut menggedor pintu kamar penghuni lain.
"Kamera DSLR Mba Citra hilang, Mas," terang Tara pada Ben. Daritadi Tara bergeming menyaksikan perjuangan Citra membangunkan semua orang.
"Kamera?" Ben mengernyit.
Tara mengangguk. "Mas Ben ada lihat kameranya nggak?" tanyanya. Suara gedoran pintu dan seruan "bangun!" Citra menjadi soundtrack perbincangan mereka.
Ben menggeleng. "Nggak, terakhir gue lihat waktu kita ke Lembang, pas liburan Sabtu kemarin."
"Ini kenapa, sih?" Bima ikut nimbrung menghampiri mereka.
"Kamera sepupu lo, tuh, hilang," giliran Ben menjelaskan pada Bima.
Kalau Bima paling muda, maka Ben orang paling tua di kediaman ini. Fakta kalau umur Ben tiga puluh empat tahun dan nyaris tiga tahun tinggal di rumah kontrakkan ini, mengundang pertanyaan beberapa tetangga (yang terlalu peduli) mengapa Ben belum menikah dan masih betah ngontrak di sini.
Bima terkekeh. "Kameranya keselip kali," katanya.
"Kamera bisa nyelip ke mana, sih, Bim? Gede gitu," sergah Tara. Ben yang berdiri di antara mereka menguap.
"Mana gue tahu. Bisa aja nyempil di kolong tempat tidur, atau ketinggalan di rumah orang," balas Bima santai sambil merenggangkan badan.
Tara memutar bola matanya. Kalau ada pepatah "baik-baiklah pada empunya kontrakkan supaya tahun depan dikasih harga miring atau seenggaknya supaya harga tidak dinaikkan" itu tidak berlaku untuk Tara ke Bima yang secara tidak langsung adalah pemilik rumah ini.
"Gue balik ke kamar duluan ya. Ngantuk nih," keluh Bima, sudah ambil langkah.
"Bim, jangan gitu, dong," tuding Tara. "Mba Citra sering masak makanan buat kita, masa lo nggak nolongin pas dia lagi susah, sih?"
Bima mengkomat-kamitkan mulut, "Iya deh iya," katanya seakan hak asasinya baru saja direngut.
"Bas! Sebastian, bangun!" Citra menggedor pintu putih bertuliskan "nomor 03" di papan kecil yang menggantung di sana, berusaha membangunkan satu penghuni lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thief!
Genç Kız EdebiyatıTELAH HILANG SATU UNIT KAMERA DSLR Berawal dari hilangnya spaghetti bolognese dikulkas hingga kamera DSLR di sebuah rumah kontrakkan, seluruh penghuninya pun berkumpul mengadakan rapat darurat. Mereka saling menuduh satu sama lain sebagai suspect al...