9. Perkara di Mal

64 17 5
                                    


Guru sudah keluar kelas. Vanda memelotot melihat kertas hasil ulangan harian Matematikanya. Empat puluh? Matanya sampai tidak berkedip. Tulisan merah itu serasa membakar matanya. Kertas ulangannya tidak tertukar, ini benar tulisan tangannya.

"Aku nggak percaya—" Tunggu! Apa ia baru saja mendengar teman-teman mengatakan ulangan Arial mendapat nilai seratus?

Cowok itu sengaja memberi contekan yang salah. "Arial!" teriak Vanda dengan langkah mengentak lantai.

Arial tidak menunggu. Ia melompat dari kursi dan berlari. Sangat jauh, napasnya terengah, bersembunyi di pepohonan belakang sekolah, menunggu sampai pelajaran selanjutnya mulai. Arial tidak membayangkan sebelumnya rasanya akan semenegangkan ini setelah nekat agar Vanda tidak mau menyontek lagi saat ulangan.

***

Minggu ini penuh dengan hal menyebalkan. Dimulai dari melihat pesta ulang tahun Luna, musuhnya, yang begitu ramai sampai ke media sosial, sampai Vanda harus menerima nilai yang begitu jelek kemarin.

Setidaknya pergi ke mal untuk makan atau sekadar jalan-jalan sore bisa membuat suasana hatinya membaik. Vanda sudah bersiap-siap pergi janjian bertemu dengan Janet dan Odit di salah satu mal ketika melihat Mama keluar dari pintu kamarnya sembari menjejalkan barang-barang ke dalam tasnya yang besar.

"Mau ke mana?"

"Mama mau pergi bareng Tante Lucida," jawab mamanya, lalu menatap penampilan Vanda. "Kamu nggak boleh main sampai nilai ulangannya nggak merah lagi."

Mata Vanda melebar. "Maksudnya?" Apa Arial mengadu tentang nilai ulangan Matematikanya?

"Pas bangunin kamu, Mama mungut gumpalan kertas di bawah meja, pas dibuka nilai ulangan kamu."

"Oh, itu, Vanda lupa belajar," katanya kaku. "Vanda janji ke depannya bakal dapat nilai seratus."

Mamanya tertawa. "Mama nggak minta mukjizat. Berusaha belajar yang rajin aja kayak Arial."

Vanda menahan senyumnya tetap lebar dan mengangguk.

"Kamu mau ke mana?" tanya mamanya tiba-tiba.

"Eh, anu ... ke rumah Janet mau nutugas bareng." Vanda menyeringai, mamanya hanya mengangguk dan menasihati lebih banyak tentang pentingnya rajin belajar.

***

Rasanya seperti berjalan ke penjara bukannya perjalanan menyenangkan mengelilingi deretan etalase toko.

Kentang goreng dan daging di piringnya sama sekali tidak menarik. Vanda dan teman-temannya duduk di food court. Suara Odit yang berteriak memanggil nama Arial membuat Vanda mengangkat wajah dan melihat cowok itu dengan enggan menghampiri mereka.

Arial baru selesai menemani maminya menata displai baju di lantai tiga mal ini. Ia menghampiri dan tersenyum kepada mereka, walaupun senyumnya kaku. Vanda memelototi Arial dengan janji balas dendam serius.

Tangan Vanda terulur menengadah kepadanya, meminta tanpa suara. Arial meneguk ludah, merasa dirinya menyusut, perlahan memberikan sebungkus wafel yang baru saja dibelinya.

"Kamu ke sini sendirian?" tanya Janet kepada Arial.

Telapak tangan Arial masih merasakan panas dari kuenya yang sudah berganti tangan. "Nggak, aku nemenin Mami. Sekarang Mami bareng Mama kamu lagi keliling cari makanan yang enak di sini."

Vanda tersedak wafel yang baru saja digigitnya. Ia langsung menatap sekeliling dan melihat mamanya berjalan bersama Tante Lucida. Terlambat untuk kabur karena mata mereka berserobok.

Benarkah Arial merasa Vanda menegang? Ia memperhatikan perubahan ekspresi cewek itu. Mukanya tampak pucat.

Vanda dapat merasakan perutnya mulai mengejang. "Mama," ucapnya dengan nada menyesal.

Mamanya hanya menatap dengan keputusan pasti akan memarahinya dengan jauh lebih nyaman di rumah, 

Vanda like as PandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang