06 | Sepenggal Romansa Nirmala

869 214 348
                                    

°·.     ·  ✦       ·* .  •     ·  •.   ✶˚  .   ·*✧* ˚     · . ·* .✵.          ✧✵ .·      ✵  ✫˚            · · .             ·✦ ˚   ·   .           ⊹   ·   . *              ..       .  °

Tiga belas tahun berlalu begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga belas tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa untaian rajutan asanya menggelung kehidupan bersama wanita yang sudah menyumpah sehidup semati dalam ikatan suci, berhasil mengantarkan dua dara Rudolph menjadi dua sosok yang sangat bertolak belakang.

Sekarang Rudolph sudah lebih terlihat berumur. Sinar gurat wajahnya sudah menunjukan tanda-tanda penuaan. Walau tak dipungkiri kharismatik juga kewibawaannya masih kental menyertai.

Tidak seperti tiga belas tahun lalu. Banyak yang cukup terkejut dengan usianya yang masih terbilang muda untuk ukuran lelaki, sudah memiliki dua anak. Mana sudah besar-besar pula untuk usia seseorang yang baru menginjak umur dua puluh tujuh tahun.

Naasnya, sempat beberapa kali kala Rudolph mengajak anaknya berkeliling, banyak yang mengira jika Anna dan Anne adalah adiknya. Bukan anaknya.

"Esok hari lagi kita akan pergi ke Bandoeng."

Rudolph mulai membuka suara, mengenyahkan lembaran warta mengenai keadaan Batavia hari ini dari wajahnya. Melihat berbagai sarapan pagi yang telah tersaji di meja makan.

Semburat binar temaram menerangi harmoni kediamannya, melalui celah teralis terpasang apik di jendela. Samar-samar, kidung dari paruh mungil kolibri turut mewarnani, mengalun indah menambah keelokan Batavia pagi hari ini.

Mentari belum benderang benar. Masih sedikit diselimuti gulita, walau sedikit-sedikit mulai berpindah posisi guna menanda pagi telah dimulai. Musim sedang memasuki pancaroba, kadang panas, kadang pula hujan. Tidak menentu. Beruntung, pada hari akhir menuntut ilmu, Batavia sedang dilanda udara dingin.

Ruang makan berbentuk lingkar itu sudah terisi sempurna dengan para manusianya yang lagi menggeluti aktivitas masing-masing dalam ruang yang sama.

"Bandoeng? Ke sana untuk apa, Pa?" sembari menyuap beberapa iris roti, Anna menoleh menghadap Rudolph di sisi kirinya.

"Rekan kerja papa mau mengadakan pesta. Hmn ... pesta apa, ya ... Biar papa ingat sebentar." Sembari jari telunjuknya diketuk-ketukan ke dagu, Rudolph mencoba mengingat perihal apa ia diundang dalam pesta kawan karibnya.

Maklum ... Rudolph sudah tua.

Margarecth hanya terkekeh pelan, sembari mendudukan diri di sisi kanan Rudolph setelah mencuci tangan ia berujar, "Bukankah temanmu berhasil mengembangkan bisnis usaha tehnya di Priangan?"

"Ah! Iya, betul. Tepat sekali."

Rudolph menyantap makanan dengan harsa meningkat lebih dari sebelum, setelah menatap secercah senyum dari bibir nirmalanya. Bibir yang selalu ia tuntut dalam diam untuk tetap tersenyum. Tak ada yang boleh mematahkan senyum Margarecth. Padahal tanpa disadari, ialah sendiri sang pematah lekungan keindahan bibir tersebut.

[Lacrimosa]; Dara-Dara RuntuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang