Cakrawala lilin lebah mulai berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa — dimana tempat pertama kali keluarga van der Lijn menjejaki Hindia-Belanda. Tak ada gegana bernaung sehingga mempertegas akan hadirnya gemintang nun jauh disana. Betul-betul indah ini pemandangan yang ada. Anna bergeming menapaki tanah yang teksturnya tak bisa ia rasai sama sekali di kakinya.
Letih yang ia rasai kini agaknya lengkara pergi. Terlalu menyesaki rongga hati. Lantas dipandangnya sinar rembulan malam yang belum bulat sempurna secara hati-hati. Ia terlalu takut memandang cahaya sebab gelap sudah teramat biasa memenuhi sanubari.
Lama ia bergeming, dalam sekejap pemandangannya yang lagi tersuguh berubah menjadi petang. Menghadirkan sosok Rudolph, Anne, dan dirinya disana sedang terduduk di bangku kayu sembari memakan ice cream vanilla. Mereka itu macam lagi memandang sang rawi yang akan tenggelam. Tak salah lagi! Itu memang papanya, kembarnya, dan dirinya tapi pada saat masih kecil.
Lalu pemandangannya bergulir lagi ketika Rudolph, Margarecth, Anna, dan Anne berada di halaman belakang kediaman mereka di Batavia. Sama-sama sedang merebahkan diri di atas rumput-rumput hijau, menatap susunan kejora pada dina hari — menjelang subuh. Mereka biasa lakukan hal tersebut manakala akhir pekan.
Kembali pemandangannya bergulir saat mereka mengunjungi Bataviasch Schouwberg, Taman Wilhelmine, Groote Rivier, Niewu Markt, dan Stasiun Beos — dulu sekali kalau ke stasiun mereka hanya duduk di lobby sembari memakan roti, melihat orang berlalu lalang dengan kesibukannya sendiri. Memang apa yang mereka lakukan macam manusia tak punya kegiatan. Tapi mereka menikmati. Rudolph pun tak hanya diam, ia banyak ceritai tentang Batavia. Dari sejak J.P Coen membumihanguskan Jayakarta, lalu merubahnya menjadi Batavia — tempat yang sampai saat ini mereka kenali.
Lintas akara memori yang manis, sekaligus berhasil membuatnya miris. Semua kenangan yang ada rasanya betul-betul ingin dia kais, tapi sayangnya deru-deru kampa kehancurannya sudah berlapis-lapis. Tinggal menunggu kapan tiba rasa gobar hati dari siksaan duniawi mempermanis. Sungguh sensasi kesedihan yang melodariamatis.
Tak sampai lama, satu persatu sosok keluarganya dalam itu memori yang tergambar melenyap. Dimulai dari Margarecth terlebih dahulu, kemudian Anne, dan terakhir Rudolph. Tinggal Anna yang tersisa seorang diri dalam alam ini. Ntah skenario apalagi yang akan ia hadapi. Anna itu kalau boleh jujur, sudah tak rasai lagi gairah kehidupan apalagi semenjak Rudolph pergi bertugas dan sekarang benar-benar tak ada kabar sama sekali.
Anna rindu Rudolph. Cinta pertama ia dan Anne yang ntah bagaimana dan apa kabar nasibnya disana.
Sekelebat kenangan yang hadir lewat mimpi, datang dengan cepat, pun menghilang secara cepat. Sebelum semua berubah gulita, Anna terbangun.
Ah! Mimpi maha sialan itu kembali menyeruak, berhasil membangunkan ia dari tidur siangnya. Tubuhnya banjir peluh dari atas sampai bawah. Napasnya pun tersenggal—belum sempurna. Namun, baru saja Anna ingin mencium aroma kelegaan, suara semacam gerombolan seseorang menggedor paksa pintu rumah berhasil menyentak dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Lacrimosa]; Dara-Dara Runtuh
Ficción histórica[𝐂𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝] ❬ 𝗛𝗶𝗻𝗱𝗶𝗮-𝗕𝗲𝗹𝗮𝗻𝗱𝗮, 𝟭𝟵𝟮𝟳 ❭ Tiap garis hidup itu punya aksara masing-masing yang membikin itu hidup mau hitam atau putih (atau mungkin abu-abu, barangkali) Cakrawala kemanusiaan terlalu meliuk menyucikan insani. S...