Bisa nggak sih sehari saja, hidupku santai?
Jawabannya tentu saja tidak. Disaat yang lain masih tertidur, aku sudah bangun dan menyiapkan segala urusan rumah tangga. Mulai dari mencuci baju, memang sih menggunakan mesin, kemudian masak untukku dan Jelita, menyiapkan bekalnya, menyiapkan bekalku, seragamnya, seragamku. Bahkan disaat musim liburan tiba, bisa saja aku memasak sambil bekerja. Mengangkat telepon agent yang cerewet atau membalas email agent yang posisinya sedang di belahan dunia lain.
"Mama.." Jelita sudah berdiri di depanku. Rambut tebalnya tampak berantakan, boneka Piglet dari karakter Winnie The Pooh yang diberikan Aro saat dia masih berusia 6 bulan, hadiah dari permainan boneka capit, sudah tampak lusuh masih di pegangnya.
"Kenapa sayang?" Tanyaku, tapi masih berkutat dengan telur dadar yang saat ini sedang kubolak balik.
"Tenggorokan Tita nggak enak. Pahit.." Ujarnya. Aku langsung mematikan kompor, meletakkan sutilku dan mendekatinya. Ku pegang dahinya, panas.
"Demam, Ta. Ke kamar yuk tiduran." Aku langsung berjalan bersama Jelita menuju kamar tidurnya. Ku rebahkan dan ku tinggal sebentar untuk mengambil makanan dan obat.
Aku menghela nafas pelan ketika membuka kotak obat, ku ambil parasetamol dan langsung ku berikan padanya. Sebelumnya tentu kuberikan roti untuk pengganjal perut, setidaknya ada makanan yang sudah masuk sebelum obat.
"Tita nggak usah sekolah dulu ya.." Ujarku. "Mama telepon orang kantor dulu." Lanjutku sembari keluar kamar.
Segera ku ambil ponselku dan menelpon, langsung orang nomor 1 di tempatku bekerja. Cuti tahunanku juga masih menumpuk, jadi ku ambil saja daripada hangus.
"Makasi banyak ya, Pak. Kalau saya nggak bisa di hubungi, berarti saya sedang sama anak... Baik, Pak.. Selamat pagi.." Tutupku begitu selesai meminta ijin.
Hal-hal yang seperti ini yang membuatku ingin masuk ke kamar mandi, menghidupkan shower dan terduduk dibawah guyuran air. Menyembunyikan keringat dan air mataku.
Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah.
Tidak mudah.
Aro memang masih ada bersama kami, tapi tidak setiap hari. Ada kalanya dia benar-benar tidak bisa diandalkan atau bahkan hilang seharian. Seperti saat ini.
"Kemana sih orang ini.." Gerutuku, kesal menuju marah. "Giliran lagi sakit gini hilang."
Aku langsung mendial nomor Delilah, atau yang Deli biasa kami memanggilnya. Calon istri Aro yang semenjak 4 tahunan ini tidak berubah statusnya. Masih ada rasa mengganjal sebenarnya di hati kecil ku. Tapi sudahlah.
"Hay Deli, Aro there?" Tanyaku pada Deli begitu dia mengangkat telponku.
"Hai Wi, ya he's around but not with me. Why?"
Aku menghela nafas, mungkin terdengar kesal. "Jelita sakit. Bisa dipanggil Aro?"
"Sebentar. Aku jalan dulu cari dia, is Jelita okay?" Tanya Deli. Aku yakin Deli sedang berlari dan terdengar teriakan mencari Aro.
"Now sleeping." Jawabku.
"Wait, he's here." Ujarnya.
"Halo." Sapa Aro diseberang. "Aku lagi di dapur, nggak lihat hand phone. Kenapa Jelita?" Tanya Aro.
"Kalian di Bali atau di Melbourne? Susah banget di telepon." Ketusku. "Aku ambil cuti untuk bisa temani dia, kamu malah susah dihubungi. Emang nggak peduli lagi sejak mau nikah ya.." Cerocosku.
"Bentar-bentar.." Aro memutusku. "Apa hubungan aku mau nikah dan nggak peduli sama kalian?" Tanya Aro, suaranya agak sengit. "Aku kan uda bilang aku lagi di dapur and I don't have my phone with me." Lanjutnya. "Aku sama Deli on the way ke rumah kamu sekarang." Tutupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right Here
General FictionSudah berapa tahun kami berpisah? 5 tahun betul? Selama itu aku merasa bebas hingga pertemuanku dengan pria berbuntut ini. Pertemuan ini, tidak seperti pertemuanku dengan yang sebelumnya. Berbeda. Aku seperti jatuh cinta. Kali ini dengan tepat. Semo...